Dhammapada
BAB X. DANDA VAGGA – Hukuman
(142)Walaupun seseorang berpakaian penuh hiasan,tetapi ia dapat menjaga ketenangan pikirannya, damai, mantap, terkendali,mantap dalam Jalan, suci murni dan tidak lagi menyakiti makhluk lain,sesungguhnya ia adalah seorang brahmana, seorang samana, seorang bhikkhu.
Dhammapada Atthakatha :
(142) Kisah Menteri Santati
Suatu ketika Menteri Santati kembali setelah berhasil menumpas pemberontak di perbatasan. Raja Pasenadi sangat senang kepadanya, memberi kekayaan dan kegemilangan kepada menterinya serta mengadakan pesta selama 7 hari dengan para gadis penari. Selama tujuh hari menteri itu bersenang-senang, bermabuk-mabukan, dan bergembira dengan gadis-gadis penari muda belia.
Pada hari ketujuh, dengan menunggang gajah kerajaan, dia pergi mandi ke tepi sungai. Di tengah perjalanan dia bertemu dengan Sang Buddha yang sedang berpindapatta. Santati membungkukkan badannya sebagai tanda memberi hormat kepada Sang Buddha.
Sang Buddha tersenyum, dan Ananda bertanya mengapa Sang Buddha tersenyum. Lalu Sang Buddha berkata, "Ananda, menteri ini akan menemuiku hari ini, dan setelah aku memberikan sedikit pelajaran, dia akan mencapai tingkat kesucian arahat dan kemudian dia akan merealisasi parinibbana."
Pesta Menteri Santati berlangsung sepanjang hari di tepi sungai, mandi, makan minum dan menyenangkan hati mereka. Pada sore hari pestanya berlangsung di taman, minum lebih banyak dan menari dengan gadis penari.
Gadis penari mencoba untuk menyenangkan menteri, selama seminggu gadis penari melakukan diet makan agar tampak menarik. Akan tetapi pada saat menari, dia terserang kejang-kejang dan ambruk, dan dia meninggal dunia dengan mata dan mulut yang terbuka. Menteri itu sangat terkejut dan sungguh sedih.
Dalam penderitaannya itu, ia mencoba berpikir apa yang dapat memberi ketenangan dan teringat kepada Sang Buddha. Dia pergi menemui Sang Buddha bersama dengan pengikut-pengikutnya, dan menceritakan duka cita dan kesedihan yang mereka alami karena kematian gadis penarinya yang begitu tiba-tiba.
Dia berkata, "Bhante, tolong hilangkan penderitaanku, jadilah pelindungku, berikan ketenangan di hatiku."
Kepadanya Sang Budha berkata, “Tenanglah anakku, engkau telah datang kepada seseorang yang dapat menolongmu, seseorang yang dapat menghiburmu dan menjadi pelindungmu. Air mata yang telah engkau tumpahkan karena kematian penari itu dalam seluruh lingkaran samsara, lebih banyak jumlahnya daripada air di samudera."
Sang Buddha kemudian mengucapkan syair ini:
"Selama ini, terdapat dalam dirimu kemelekatan (upadana) yang disebabkan tanha (nafsu keinginan); lenyapkanlah hal itu.
Pada saat mendatang, janganlah bawa kemelekatan dalam dirimu. Jangan pula menempatkan kemelekatan terhadap apapun pada saat sekarang; dengan tidak memiliki kemelekatan, tanha dan kebencian akan lenyap dalam dirimu, dan engkau akan merealisasi "Kebebasan Mutlak" (Nibbana)."
Setelah mendengar syair itu, menteri mencapai tingkat kesucian arahat. Dan menyadari bahwa usia kehidupannya akan berakhir, Santati berkata kepada Sang Buddha, "Bhante, sekarang izinkanlah saya merealisasi "Kebebasan Akhir" (parinibbana), karena saatnya telah tiba."
Sang Buddha merestuinya, kemudian Santati terbang setinggi tujuh pohon palem di angkasa dan di sana Santati bermeditasi dengan objek perwujudan api (tejo kasina), akhirnya beliau meninggal dunia, merealisasi "Kebebasan Akhir" (parinibbana). Tubuhnya berkobar, darahnya dan daging menguap terbakar, dan tulangnya menjadi relik (dhatu) beterbangan di angkasa dan terjatuh pada sehelai kain bersih yang telah direntangkan oleh para bhikkhu atas petunjuk Sang Buddha.
Pada saat pertemuan, para bhikkhu bertanya kepada Sang Buddha, "Bhante, Menteri Santati telah merealisasi "Kebebasan Akhir" (parinibbana) dengan mengenakan pakaian kebesaran menteri, apakah dia seorang samana atau brahmana?"
Kepada mereka, Sang Buddha menjawab, "Para bhikkhu, anakku dapat disebut dua-duanya; seorang samana atau pun seorang brahmana."
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair berikut:
"Alaṃkato ce pi samaṃ careyya
santo danto niyato brahmacārī
sabbesu bhūtesu nidhāya daṇḍaṃ
so brāhmaṇo so samaṇo sa bhikkhu."
Walaupun seseorang berpakaian penuh hiasan,
tetapi ia dapat menjaga ketenangan pikirannya, damai, mantap, terkendali,
mantap dalam Jalan, suci murni dan tidak lagi menyakiti makhluk lain,
sesungguhnya ia adalah seorang brahmana, seorang samana, seorang bhikkhu.
---------
Notes :
Banyak orang bertanya, dapatkah umam awam mencapai tingkat kesucian Arahat? Ya, dapat. Contohnya Menteri Santati ini. Ketika mencapai kearahatan, ia masih sebagai seorang umat awam.
Ada dua hal yang terjadi ketika umat awam mencapai kearahatan :
1. dia masuk menjadi anggota Sangha baik sebagai bhikkhu/bhikkhuni ataupun samanera. Jika beliau tidak menjadi anggota Sangha, maka ;
2. tak lama kemudian beliau akan meninggal dunia, merealisasikan anupadisesa Nibbana (Nibbana tanpa sisa).
Hal ini dikarenakan tidak mungkin lagi seorang arahat menjalani kehidupan duniawi seperti umat awam. Cara pandang, pemikiran, sikap dll, sudah tidak cocok lagi.
Mereka yang mencapai kearahatan sebagai umat awam lalu baru kemudian masuk menjadi anggota Sangha, contohnya : Yasa (bhikkhu keenam), Jambuka (kisah 70), pemain akrobat Uggasena (kisah 348), Ratu Khema (kisah 347), Samanera dari Kosambi (kisah 96), Aggidatta dan semua pengikutnya (kisah 188-192), Kaludayi dan 9 menteri plus 9000 pengiring yang diutus Raja Suddhodana untuk mengundang Sang Buddha kembali ke Kapilavastu.
Mereka yang mencapai kearahatan sebagai umat awam, tidak menjadi anggota sangha dan segera meninggal dunia :
Menteri Santati (kisah no. 142), Bahiya (kisah no.101), Brahmana dan isterinya (dua orang di kisah no. 225), dan juga Raja Suddhodana ayah pangeran Siddhartha yang meninggal segera setelah mencapai arahat (ThigA.141).
Tidak ada arahat yang hidup terus sebagai umat perumah tangga. Yang tercatat masih tetap hidup berumah tangga, maksimum hanya yang mencapai tingkat kesucian Anagami.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar