Sabtu, 27 Juli 2013

(124) Kisah Kukkutamitta

Dhammapada

  • BAB IX. PAPA VAGGA – Kejahatan

     (124)Apabila seseorang tidak mempunyai luka di tangan,maka ia dapat menggenggam racun. Racun tidak akan mencelakakan orang yang tidak luka.Tiada penderitaan bagi orang yang tidak berbuat jahat. 

    Dhammapada Atthakatha :  

    (124) Kisah Kukkutamitta

    Di Rajagaha terdapat seorang putri orang kaya yang telah mencapai tingkat kesucian sotapatti pada usia yang masih muda. Suatu hari, Kukkutamitta, seorang pemburu datang ke kota dengan kereta untuk menjual daging rusa. Melihat Kukkutamitta, si pemburu itu, wanita kaya yang masih muda ini jatuh hati seketika.

    Dia mengikuti Kukkutamitta, menikah dengannya dan berumah tangga di sebuah desa kecil. Dari hasil perkawinannya, lahirlah tujuh orang anak laki-laki, dan setelah tiba waktunya semua anak mereka menikah.

    Suatu hari, Sang Buddha meninjau sekeliling alam kehidupan pada dini hari dengan kemampuan batin luar biasa-Nya. Beliau menemukan bahwa si pemburu, ketujuh putranya dan istri-istri mereka sudah memiliki kesiapan batin untuk mencapai tingkat kesucian sotapatti.

    Paginya, Sang Buddha pergi ke tempat di mana pemburu telah menyusun perangkap buruannya di dalam hutan. Sang Buddha meletakkan jejak kaki Beliau di dekat perangkap, lalu duduk di bawah semak-semak yang rindang, tidak jauh dari perangkap tersebut.

    Ketika pemburu datang, dia melihat tidak ada binatang di dalam perangkap. Sebaliknya, dia melihat jejak kaki dan menduga bahwa seseorang telah datang sebelumnya dan melepaskan binatang tersebut.

    Ketika dia melihat Sang Buddha duduk di bawah semak-semak yang rindang, dia mengira Beliaulah orang yang telah melepaskan binatang dari dalam perangkap. Dengan marah pemburu itu mengeluarkan busur dan anak panahnya untuk memanah Sang Buddha.

    Tetapi sewaktu dia menarik anak panahnya, dia menjadi tidak bisa bergerak dan tetap berdiam pada posisi seperti patung.

    Anak-anak pemburu itu menyusul dan menemukan ayah mereka. Mereka juga melihat Sang Buddha pada jarak tertentu dan mengira Beliau pastilah musuh ayah mereka. Mereka semua mengambil busur-busur dan anak-anak panah, dan mereka membidik Sang Buddha. Tetapi mereka juga tidak bisa bergerak dan menjadi seperti patung.

    Ketika pemburu dan putra-putranya tidak kembali, istri pemburu menyusul mereka ke dalam hutan bersama dengan ketujuh menantunya. Melihat suami dan semua anaknya dengan anak panah mereka membidik Sang Buddha, dia mengangkat kedua tangannya dan berteriak, "Jangan membunuh ayahku."

    Ketika sang suami mendengar kata-kata istrinya, dia berpikir "Ini pastilah ayah mertua saya", dan anak-anaknya berpikir "Ini pastilah kakek kami", dan kemudian cinta kasih timbul pada mereka.

    Kemudian wanita itu berkata kepada mereka, "Singkirkan busur dan anak-anak panah kalian, dan beri penghormatan kepada ayah saya."

    Sang Buddha menyadari bahwa pada waktu itu, pikiran pemburu dan ketujuh anaknya melembut dan membiarkan mereka menyingkirkan busur-busur dan anak-anak panah mereka. Setelah menyingkirkan busur-busur dan anak-anak panah mereka, mereka memberi penghormatan kepada Sang Buddha dan Sang Buddha menjelaskan ajaran Dhamma kepada mereka.

    Akhirnya pemburu, ketujuh putranya, dan ketujuh menantunya, semua berjumlah lima belas, mencapai tingkat kesucian sotapatti.

    Kemudian Sang Buddha pulang kembali ke vihara, dan memberi tahu kepada Ananda Thera dan bhikkhu-bhikkhu lain perihal Kukkutamita dan keluarganya yang telah mencapai tingkat sotapatti pada dini hari.

    Para bhikkhu kemudian bertanya kepada Sang Buddha, "Bhante, apakah istri pemburu yang telah mencapai sotapanna, tidak bersalah melakukan pembunuhan; jika dia mengembalikan barang-barang seperti jaring, busur-busur, dan anak panah untuk keperluan suaminya pada saat hendak berburu?"

    Terhadap pertanyaan itu, Sang Buddha menjawab, "Para bhikkhu, para sotapanna tidak membunuh, mereka tidak mengharapkan yang lain terbunuh. Istri pemburu itu hanya menuruti kemauan suaminya mengambilkan barang-barang untuknya. Seperti halnya tangan yang tidak luka, tangan itu tidak dapat dimasuki racun. Demikian pula, karena dia tidak mempunyai niat melakukan kejahatan, maka dia tidak melakukan kejahatan."

    Kemudian Sang Buddha membabarkan syair berikut:

    "Pāṇimhi ce vaṇo nāssa hareyya pāṇinā visaṃ,
    nābbaṇaṃ visam anveti, n’atthi pāpaṃ akubbato."

    Apabila seseorang tidak mempunyai luka di tangan,
    maka ia dapat menggenggam racun.
    Racun tidak akan mencelakakan orang yang tidak luka.
    Tiada penderitaan bagi orang yang tidak berbuat jahat.

    ------------

    Notes:

    Seorang sotapanna telah mematahkan 3 belenggu (lihat notes di kisah 122),
    Saddha/keyakinannya dalam Buddha Dhamma dan Sangha, sungguh-sungguh kuat, dan silanya juga kukuh, dalam situasi apapun juga ia tidak akan melanggar Pancasila.
    Karena ia menjalankan Pancasila, ia tidak berbuat karma buruk baru yang dapat menyeretnya terlahir alam rendah.
    Seandainya ada karma buruk yang dapat menyebabkan kelahiran di alam rendah, yang dilakukan sebelum ia menjadi sotapanna, ini akan menjadi ahosi kamma (karma yang tidak berbuah).  

    Dalam hal ini, karena sang isteri adalah seorang sotapanna, ia sudah tidak memiliki niat untuk membunuh.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar