BAB XII. ATTA VAGGA – Diri Sendiri
(160)Diri sendiri sesungguhnya adalah pelindung bagi diri sendiri, karena siapa pula yang dapat menjadi pelindung bagi dirinya?Setelah dapat mengendalikan dirinya sendiri dengan baik,ia akan memperoleh perlindungan
Dhammapada Atthakatha :
(160) Kisah Ibu dari Kumarakassapa
Suatu ketika, seorang wanita muda yang telah menikah meminta ijin kepada suaminya untuk menjadi seorang bhikkhuni. Karena ketidaktahuannya, ia bergabung dengan bhikkhuni-bhikkhuni yang menjadi pengikut Devadatta. Wanita ini sedang mengandung sebelum ia menjadi bhikkhuni, tetapi ia tidak menyadari kehamilannya pada waktu itu.
Dengan berjalannya waktu, kehamilannya terlihat oleh bhikkhuni-bhikkhuni lain. Mengira ia telah melakukan perbuatan yang melanggar vinaya, mereka membawa permasalahan itu kepada guru mereka, Devadatta.
Devadatta menyuruh wanita itu kembali ke kehidupan berumah tangga. Kemudian wanita muda ini mengatakan kepada bhikkhuni-bhikkhuni lainnya, "Saya tidak berniat menjadi bhikkhuni murid Devadatta, saya datang kemari karena kesalahan. Tolong antarkan saya ke Vihara Jetavana, bawa saya menghadap Sang Buddha." Kemudian ia datang menghadap Sang Buddha.
Sang Buddha mengetahui kalau ia telah mengandung sebelum ia menjadi bhikkhuni, oleh karena itu ia tidak bersalah. Tetapi Sang Buddha tidak ingin menangani masalah tersebut. Sang Buddha mengundang Raja Pasenadi dari Kosala, Anathapindikha hartawan terkenal, Visakha pendiri Vihara Pubbarama, dan banyak orang lainnya. Kemudian Beliau menyuruh Upali untuk menyelesaikan permasalahan tersebut di muka umum.
Visakha membawa wanita muda tersebut ke belakang tirai dan memeriksanya, kemudian melaporkan kepada Upali Thera bahwa wanita tersebut telah hamil sebelum menjadi bhikkhuni. Upali Thera kemudian mengumumkan kepada hadirin bahwa wanita tersebut tidak bersalah dan oleh karena itu ia tidak melanggar peraturan ke-bhikkhuni-an (sila).
Setelah beberapa lama, wanita itu melahirkan seorang putra. Anak tersebut diadopsi oleh Raja Pasenadi dan diberi nama Kumarakassapa. Pada saat anak tersebut berusia tujuh tahun, ketika mengetahui bahwa ibunya adalah seorang bhikkhuni, ia kemudian juga menjadi seorang samanera dibawah bimbingan Sang Buddha.
Setelah dewasa, ia diterima dalam pasamuan bhikkhu, setelah mendapat cara-cara bermeditasi dari Sang Buddha ia pergi ke hutan. Disana, ia melatih meditasi dengan tekun dan sungguh-sungguh dan dalam waktu singkat mencapai tingkat kesucian arahat. Walaupun demikian, ia melanjutkan hidup di hutan selama lebih dari dua belas tahun.
Karena itu, ibunya tidak bertemu dengannya selama 12 tahun, dan sangat rindu untuk melihat anaknya. Suatu hari, ketika melihat anaknya, ibu yang bhikkhuni itu tak dapat menahan dirinya lagi. Dengan penuh emosi ia berlari mendekati anaknya, menangis dan memanggil-manggil nama anaknya.
Melihat ibunya, Kumarakassapa berpikir, jika ia berbicara dengan lembut kapada ibunya, ibunya masih akan memiliki kemelekatan kepadanya, dan masa depan ibunya akan tidak berkembang. Jadi demi masa depan ibunya, agar dapat memperoleh kebebasan (merealisasi nibbana) ia dengan sengaja berbicara keras kepada ibunya : "Bagaimana anda, sebagai anggota Sangha, bahkan tidak dapat memutuskan rasa sayang terhadap seorang anak?"
Ibunya berpikir bahwa anaknya sangat keras kepadanya, dan ia bertanya apa maksudnya. Kumarakassapa mengulangi apa yang ia ucapkan sebelumnya.
Mendengar jawabannya, Ibu Kumarakassapa merenung : "Ya, dua belas tahun aku cucurkan air mata untuk anakku. Dua belas tahun pula aku memendam rindu, ingin melihat senyum dan mendapat sapaan yang hangat dari darah dagingku. Namun, apa yang terjadi sekarang? Bukannya sapaan yang halus dan senyum bahagia karena bertemu dengan ibunya, malahan jawaban ketus yang kuterima. Apa gunanya rasa sayangku kepadanya?"
Kemudian, kemelekatan yang sia-sia kepada anaknya mulai nampak jelas baginya, lalu saat itu juga, ia memutuskan untuk memotong kemelekatan itu. Dengan memotong seluruh kemelekatan ibu dari Kumarakassapa mencapai tingkat kesucian arahat pada hari itu.
Suatu hari, pada saat pertemuan, beberapa bhikkhu berkata pada Sang Buddha : "Bhante, jika Ibu dari Kumarakassapa mengikuti Devadatta, ia dan putranya tidak akan menjadi arahat. Tentunya, Devadatta telah melakukan kesalahan besar terhadap mereka, tetapi Bhante telah menjadi tempat berlindung bagi mereka."
Kepada mereka Sang Buddha berkata : "Para Bhikkhu, dalam perjuangan untuk mencapai alam dewa, atau mencapai tingkat kesucian arahat, kalian tidak bisa tergantung pada orang lain, kalian harus berusaha keras sendiri."
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair berikut :
"Attā hi attano nātho, ko hi nātho paro siyā;
attanā hi sudantena nāthaṃ labhati dullabhaṃ."
Diri sendiri sesungguhnya adalah pelindung bagi diri sendiri,
karena siapa pula yang dapat menjadi pelindung bagi dirinya?
Setelah dapat mengendalikan dirinya sendiri dengan baik,
ia akan memperoleh perlindungan yang sungguh amat sukar dicari (menjadi arahat).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar