Minggu, 31 Mei 2015

SENI MEMBINA PIKIRAN

Seni Membina Pikiran

Oleh : Master Cheng Yen


Bagaimana Anda bisa mengetahui seberapa berbudayanya seseorang? Kita bisa tahu dari cara ia mengatasi keadaan yang dihadapinya. Jika seseorang kehilangan kesabaran ketika segala sesuatu tidak berjalan sesuai dengan keinginannya, itu berarti pembinaannya kurang memadai. Dia harus berusaha keras membina pikiran menjadi lembut dan lapang, sehingga tindakan dan perkataannya bisa menyejukkan layaknya hembusan angin musim semi.

Jika pikiran seseorang tercemar keserakahan, kebencian, kebodohan, kesombongan, dan keraguan, orang ini tidak dapat menjaga kemurnian dan ketekunan di jalan Bodhisatwa. Membina pikiran adalah seni bertobat dan membersihkan ketidakmurnian dari pikiran kita. Sebenarnya, kebiasaan dan bentuk pikiran tidak berwujud dan tidak terlihat, jadi bagaimana mereka mencemari pikiran kita? Jika kita secara terus menerus mengingatkan diri sendiri untuk tidak serakah, marah, egois, dan sombong, maka kita bisa menjaga hati yang penuh welas asih dan memperlakukan semua orang dengan penuh cinta kasih yang lembut. Jika hati ini selalu dipenuhi dengan cinta kasih yang lembut dan baik hati, bagaimana mungkin ia bisa ternoda?

Kunci utamanya adalah bagaimana kita membina kebiasaan baik ini. Jika semua orang bisa sepenuh hati dalam setiap langkah, bukan melangkahi aturan atau melakukan kesalahan, kita dapat secara terus menerus belajar agar bermanfaat bagi orang dan bisa harmonis dengan orang lain. Cinta dan penghargaan yang timbal balik adalah pembinaan dari kebiasaan baik.

Bersikap perhitungan dan menyimpan dendam juga adalah kebiasaan. Itu adalah kebiasaan buruk yang harus kita buang secepatnya. Beberapa orang mengatakan, orang ini sangat baik, tapi orang ini sangat suka menyimpan dendam. Ini adalah sikap kebiasaan yang sangat jelas. Kita sering mendengar tentang orang seperti ini: dia punya hati yang baik, tetapi memiliki temperamen buruk atau menjadi mudah marah dengan cepat. Menyimpan dendam dan memiliki temperamen yang buruk, kesan apakah yang akan ditinggalkan? Ketika Anda kehilangan kesabaran, Anda telah merusak citra diri Anda.

Kemarahan Itu Seperti Api

Ketika seseorang kehilangan kesabaran, pikirannya menjadi kacau, eskpresinya buruk, dan kata-katanya menjadi kasar. “Marah adalah kegilaan sesaat.” Banyak orang terbiasa kehilangan kesabaran mereka dengan mudah. Manakala sesuatu terjadi tidak sesuai dengan keinginan mereka, atau ketika mereka salah memahami atau salah menanggapi perbuatan dan perkataan orang lain, mereka menciptakan masalah dengan orang lain.

Sebagian akan berkata, “Manusia tidak mungkin terhindar dari kemarahan! Selama kita punya hati yang baik, apa salahnya dengan kemarahan yang sementara?” Tetapi jika Anda memiliki hati yang baik, mengapa Anda menodai citra Anda sendiri?

Pepatah Tiongkok kuno mengatakan, “Rambut seorang pemarah akan terangkat ke surga”, menjelaskan bagaimana rambut dari seorang pemarah yang menunjuk ke atas. Layaknya ayam yang bertengkar, bulu mereka terangkat keluar. Ini sama dengan dengan seseorang yang sedang kehilangan kesabaran. Kita dapat menggambar sketsa seseorang, yang rambutnya terangkat, alisnya berdiri, mata melotot dan menatap tajam, serta memperlihatkan barisan giginya. Apakah ini terlihat baik? Mengapa membuat diri kita sendiri begitu tercela? Dan ketika kita marah, kita kehilangan kendali atas tindakan dan perkataan kita. Hal itu membuat segalanya bertambah buruk.

Bagaimana kita mengetahui seberapa terbinanya seseorang? Kita dapat mengetahui dari bagaimana dia berhadapan dengan situasi dan masalah yang datang. Jadi, jika kita kehilangan kesabaran ketika segala sesuatu bertentangan dengan keinginan kita, itu artinya kita tidak cukup terbina. Kita harus bekerja lebih keras untuk membina hati yang lembut dan lapang, sehingga seluruh ucapan dan perilaku kita akan menyegarkan dan menyejukkan layaknya angin musim semi.

Sebuah hati yang lembut dan rendah hati membuat kita memperlakukan semua orang dengan perkataan dan sikap yang lembut. Ada satu cara kita dapat memeriksa apakah kita cukup rendah hati. Ketika kita melakukan kesalahan dalam kata-kata atau perbuatan, apakah kita siap berkata, “Maaf, itu adalah kesalahan saya!” Itu hanya beberapa kata yang sederhana, tetapi banyak yang kesulitan mengatakan kata-kata itu karena mereka tidak mau mengakui kesalahan mereka atau mereka tahu bahwa mereka salah, tetapi mereka menganggap rendah manakala mereka meminta maaf kepada orang lain. Sikap ini terakumulasi dan menjadikan kita keras kepala.

Ada yang mengatakan, “Kemarahan yang timbul dari ketidaktahuan akan membakar hutan manfaat.” Saya berharap bahwa kalian semua akan sepenuh hati membina kebaikan hati, memperkuat kesabaran, dan tidak membiarkan pembinaan terbuang dalam kemarahan.

Jika Anda terus bersikap perhitungan atau tamak, dan tidak mampu menjaga kesabaran, ini adalah masalah yang rumit. Itu berarti Anda tidak menjaga hati dan pikiran dengan baik. Pembinaan adalah secara terus menerus merefleksikan dan bertobat secepatnya ketika berbuat salah. Jika kita tidak mengakui kesalahan kita, itu adalah kesalahan yang lebih besar. Ketika kebiasaan ini terakumulasi, kita akan menghalangi diri sendiri. Kesimpulannya, semua orang harus sepenuh hati dalam setiap detik setiap harinya

Cara Menggerakkan Relawan Memberikan Bantuan Bencana

Cara Menggerakkan Relawan Memberikan Bantuan Bencana


Ada orang bertanya kepada Master Cheng Yen:

Kemampuan Tzu Chi untuk menggerakkan relawan dalam beberapa tahun ini sangat luar biasa, selain disebabkan oleh bangkitnya hati yang penuh cinta kasih, apakah masih ada sebab lainnya?

 

Master Cheng Yen menjawab:

Insan Tzu Chi memiliki satu filosofi yang sama, yaitu dikarenakan ada orang yang membutuhkan bantuan, kita baru memiliki kesempatan untuk memberikan sumbangsih dan perhatian. Sebagai contoh adalah ketika terjadi bencana topan Herb dulu, tahukah Anda betapa besarnya penderitaan warga (korban) di atas pegunungan sana? Mereka sangat membutuhkan bantuan. Karena mereka sedang menderita, maka mereka membutuhkan bantuan kita, jadi kita harus berterima kasih kepada mereka. Ini adalah konsep pemikiran bersama pada diri semua insan Tzu Chi.

Karena tujuan dan filosofi semua orang adalah satu, dengan sendirinya semua orang akan melangkah pada satu jalur yang sama dan setiap orang bersumbangsih atas inisiatif sendiri. Setelah bersumbangsih semua orang akan saling mengucapkan terima kasih. Ini adalah sesuatu yang sangat sulit dimengerti dan hanya dapat dipahami jika kita telah mempraktikkannya sendiri.

Harapan Master Terhadap Media Massa

Harapan Master Terhadap Media Massa

Apa harapan Anda terhadap media massa?

Master Cheng Yen menjawab:

Reporter dapat meningkatkan budaya berkehidupan dari masyarakat dan memperluas sudut pandang semua orang akan kehidupan manusia, bisa dikatakan berperan sebagai “antibodi” bagi masyarakat, merupakan sebuah profesi mulia untuk mendidik masyarakat. Namun sekarang profesi ini sudah berubah, sebagian reporter sudah tersesat, bahkan terjerumus menjadi “virus” bagi masyarakat, mereka terus saja menciptakan informasi yang mencelakai masyarakat.

Media massa seharusnya memiliki tugas mulia untuk meningkatkan moralitas dalam masyarakat, namun sekarang kebanyakan pemberitaan malah menjadi sumber timbulnya penyakit masyarakat, benar-benar sangat mengkhawatirkan! Bencana alam memang sangat mengerikan, namun sebetulnya bencana dalam batin manusia lebih mengerikan lagi. Masyarakat sekarang penuh dengan perseteruan dan kekerasan, ini membuat banyak orang diliputi kecemasan dan ketidaktenangan, jadi saya berharap pada media massa agar lebih banyak menyebarkan budaya yang jernih, barulah media massa benar-benar memberikan kontribusi kepada masyarakat. 

Pembinaan Diri Dinamis

Pembinaan Diri Dinamis

Ada orang bertanya kepada Master Cheng Yen:

Apakah perbedaan saat Master dulu membina diri sendirian di pondok kayu kecil dengan sekarang?


Master Cheng Yen menjawab:

Dulu saya mencari pemahaman atas kondisi batin yang jernih melalui bentuk tulisan, tetapi sekarang saya mencoba memahami akan kebenaran, kebajikan dan keindahan dari dunia di dalam lingkungan yang dinamis. 

Bagaimana Memilih Antara Pekerjaan dan Misi?

Bagaimana Memilih Antara Pekerjaan dan Misi?

Ada seorang pengusaha yang bertanya kepada Master Cheng Yen:

“Saya banyak memiliki teman dari Tzu Chi, termasuk istriku juga adalah insan Tzu Chi, mereka selalu mendorongku agar lebih banyak berpartisipasi dalam kegiatan Tzu Chi, namun saya tidak dapat melepaskan bisnis yang saya miliki. Tapi walaupun begitu saya juga berkeinginan untuk lebih banyak berpartisipasi dalam kegiatan Tzu Chi. Hal ini membuat batin saya terasa sedikit terbebani.”


Master Cheng Yen menjawab:

Jangan merasa terbebani. Tzu Chi adalah misi, misi berarti harus dilakukan dengan hati penuh keikhlasan, jika tidak ikhlas tentu tidak perlu dilakukan. Akan tetapi, sebetulnya misi dan pekerjaan tidak berbenturan. Tzu Chi dapat berjalan selama ini karena masyarakat semakin berkembang dan ekonomi semakin maju, makanya kita memiliki kemampuan untuk memberikan bantuan. Saya selalu mengatakan kalau setiap orang harus terlebih dahulu menjaga pekerjaan dan keluarga dengan baik, barulah membicarakan partisipasinya dalam misi-misi Tzu Chi.


Namun pekerjaan kadangkala belum tentu berkaitan dengan nyawa kehidupan, sedangkan misi terus saling berkaitan dengan nyawa kehidupan, itu dikarenakan manusia tidak memiliki hak milik atas segala sesuatu di dunia ini, termasuk tubuhnya sendiri. Kita tidak tahu pada detik mana napas kita tiba-tiba akan terhenti. Begitu nafas terhenti, segala sesuatu di dunia ini sudah tidak ada kaitannya lagi dengan kita. Jadi sebanyak apapun bisnis kita, kadangkala juga tidak ada kaitannya dengan nyawa kehidupan kita. Maka sering saya katakan bahwa manusia tidak memiliki hak milik atas kehidupannya, hanya memiliki hak pakai saja, tak peduli itu berupa nyawa kehidupan ataupun harta.

Bolehkan Tidak Ada Aku?

Bolehkah Tidak Ada Aku?

Ada informasi tentang seorang relawan komite yang telah kehilangan kemauan untuk melangkah maju di jalan Bodhisatwa Tzu Chi. Relawan komite tersebut beranggapan Tzu Chi sudah kaya dan tidak mau lagi menggalang dana.

Master Cheng Yen menjawab:

Masalah di dunia tidak dapat dituntaskan oleh satu orang saja, beras di dunia juga tidak habis dimakan oleh satu orang, Tzu Chi membutuhkan kekuatan semua orang untuk menjalankannya. Kita seharusnya membangun pola pikir “karena ada aku, maka seluruh misi-misi dapat dijalankan dengan baik."

Bagaimana cara melepaskan diri dari ketakhayulan?

Bagaimana cara melepaskan diri dari ketakhayulan?

Bagaimana cara melepaskan diri dari ketakhayulan (Dalam upacara sembahyang arwah pada bulan tujuh penuh berkah)?

Master Cheng Yen menjawab:

Dalam berkeyakinan harus memiliki kebijaksanaan, kita harus berkeyakinan dengan bijak dan tidak percaya pada takhayul. Jika ingin menyampaikan penghormatan kepada arwah, “bervegetarian dengan tulus” adalah cara yang paling baik. Inilah gerakan “bervegetarian dan berbuat amal kebajikan demi melindungi kehidupan”. Kita harus bervegetarian demi melindungi semua kehidupan dan peduli dengan segala bentuk kehidupan.

Setelah membangun kebijaksanaan, kita juga harus membangkitkan kewelasasihan. Bulan tujuh penanggalan lunar adalah bulan penuh berkah, juga merupakan bulan berbakti pada orang tua dalam agama Buddha, jadi kita harus memandang kaum lansia di seluruh dunia sebagai orang tua kita. 

Bagaimana Cara Menenangkan Hati?

Bagaimana Cara Menenangkan Hati?


Ada orang yang bertanya kepada Master Cheng Yen:

Saya sering merasa tidak tenang hati, bagaimana cara mengatasinya?


Master Cheng Yen menjawab:

Anda harus senantiasa menyimpan niat untuk berbuat hal yang bermanfaat bagi orang lain dan menciptakan keberkahan bagi semua makhluk, serta berusaha keras untuk mengubahnya menjadi tindakan nyata. Tanpa pernah berpikir secara egois dan yang bukan-bukan, jika mampu seperti itu, maka dengan sendirinya hati akan merasa tenang.

Dapatkah Membina Diri Hanya Dengan Membaca Sutra?

Dapatkah Membina Diri Hanya Dengan Membaca Sutra?

Ada orang yang bertanya kepada Master Cheng Yen:

Dalam pembinaan diri, apakah bisa dilakukan dengan hanya bersembahyang atau membaca Sutra saja?

 

Master Cheng Yen menjawab:

Pahala kebajikan dari memuja Buddha adalah tergantung pada taraf penyucian batin kita sendiri. Dalam kehidupan, kita jangan hanya sibuk mencari nama dan keuntungan saja, juga jangan dirisaukan oleh masalah hidup dan mati. Hati kita harus selalu memikirkan kepentingan semua makhluk dan terjun ke tempat-tempat yang penuh dengan penderitaan untuk menolong orang yang sedang dalam kesusahan.

Sabtu, 30 Mei 2015

LADANG PELATIHAN TERLETAK PADA DIRI SENDIRI

Ceramah Master Cheng Yen

Beginilah kehidupan, kita harus senantiasa berteguh hati menghadapi kondisi yang berubah-rubah. Apa yang tidak berubah ?, itulah hakikat diri kita, benih KeBuddhaan yang murni tanpa noda, namun kita membuat hakikat yang murni tanpa noda dan tidak berubah ini tertutupi lapis demi lapis noda batin yang timbul karena adanya kontak dengan luar. Meski hakikatnya tak pernah berubah, namun dengan adanya kontak dengan dunia luar pikiran kita mengalami penyimpangan, batin kita memiliki kecenderungan untuk menyimpang, kondisi luar demikian adanya. Namun kenyataan batin kita mudah terpengaruh dengan kondisi luar. Pepatah kuno mengatakan “ bunga tidak membuai, manusialah yang terbuai, arak tidak memabukkan manusialah yang mabuk”. Selama hati kita tidak tergoyahkan kita tidak akan terpengaruh.

Karma buruk ini muncul akibat pelanggaran melalui 3 pintu karma maupun kelalaian. melalui 6 indra, muncul akibat pikiran salah dari dalam batin atau akibat kemelekatan akan kondisi luar.

Pikiran salah muncul dari dalam batin kita sendiri, tabiat terakumulasi sejak lama. Saat bersentuhan dengan kondisi luar batin kita bereaksi, sebagai akibat dari berbagai kondisi yang muncul, pikiran serta pandangan kitapun akan mengarah pada arah yang menyimpang, begitu pikiran menyimpang kita akan mudah terpengaruh oleh objek luar seperti suara, rupa, rasa dan objek lainnya.

6 indra
Mata, telinga, hidung lidah, tubuh dan pikiran
6 objek
Rupa, suara, aroma, rasa, sentuhan, objek-objek pikiran. 

Ketika 6 indra mengalami kontak dengan 6 objek akan terangsang dan terpengaruh, kesadaran juga ikut bereaksi. 6 indra terangsang objek, kesadaran berpikir ini menggerakan 7 cabang karma, 3 melalui tubuh, 4 melalui ucapan. Kesadaran menggerakkan terciptalah perbuatan buruk . ini merupakan hasil pikiran yang menyimpang yang muncul dari dalam batin. Karena mengalami berbagai macam kontak, banyak pemikiran timbul dari dalam batin, jika pikiran menyimpang artinya menjadi keliru, maka pandangan kita akan menjadi menyimpang dan keliru.

Karma melalui tubuh 
Membunuh, mencuri berbuat asusila
Karma melalui ucapan
Bertutur kata kasar, berdusta, berkata-kata kosong, bergunjing.

Dalam melatih diri kita harus menjaga fisik dan batin artinya senantiasa berintropeksi apa  yang baru kita ucapkan itu salah, setelah berbicara dan berbuat kelak kita masih memperbaiki yang salah karena kita mahluk awam. Kita memiliki akumulasi tabiat buruk sejak dulu, yang sering muncul tanpa kita sadari, inilah energi dari tabiat atau kebiasaan. Tabiat ini seringkali bersentuhan dengan dunia luar dan terwujud dalam perbuatan. Jika kita terbiasa bertemperamen tinggi maka ketika kondisi tidak sesuai dengan harapan, kemarahan dan kebencian kita akan bangkit, sikap dan tutur kata kita tidak baik, inilah yang disebut tabiat buruk. Setelah bertekad untuk melatih diri kita harus waspada dan sadar “ mengapa saya berbicara kasar”, “mengapa nada bicara saya tidak menyenangkan”, “mengapa begitu cepat saya menuturkan ucapan yang menyakiti orang lain”. Jika kita dapat mengendalikan diri dan menjaga baik-baik hati kita, kebencian dan kemarahan ini dapat segera kita kendalikan dan tak sampai keluar. Membahas 7 cabang karma bagaikan anak panah yang tidak dapat ditarik kembali setelah dilepaskan. Inti melatih diri adalah ketika tabiat buruk muncul kita segera mengendalikan, jika kita sungguh memulainya dari dalam batin, maka ketika pikiran muncul kita tidak akan berjalan kearah yang menyimpang , apabila menyimpang sedikit saja, maka segala perilaku kita juga ikut menyimpang.

“Jagalah kesadaran selalu, ketika tabiat buruk muncul kendalikan dan perbaiki segera inilah yang disebut melatih diri”. 

Ketika virus SAR muncul saat seseorang diketahui mengalami kontak dengan penderita, cara terbaik dikarantina, orang lain dapat mengantarkan makanan baginya, saat seperti inilah adalah waktu yang terbaik untuk melatih diri, namun ada orang yang merasa takut bila orang lain mengetahui bahwa ia telah mengalami kontak penderita. “jika saya beritahu orang lain, apakah saya akan dikarantina?”. Karena itu ia tutupi, jika terus ditutupi ketika ia benar-benar terjangkit, maka sudah terlambat bukan hanya terhadap diri sendiri tetapi juga bisa menularkan kepada orang disekitarnya. Virus adalah analogi bagi kita para praktisi untuk menggambarkan kekotoran batin. Kita sering menyebut ketamakan, kebencian, kebodohan dalam batin sebagai 3 racun atau virus, jika tidak segera dibasmi maka setiap saat mungkin menular pada orang lain, mempengaruhi pelatihan orang lain dan membuat jalannya menyimpang. Kita harus menyayangi diri kita sekaligus mengasihi orang lain. Lahan pelatihan memiliki energi pelatihan , dan energi pelatihan bagaikan karantina bagi kita, dengan adanya energi pelatihan ini, kita dapat terhindar dari ketidak murnian, lihatlah rumah sakit saat ini dilengkapi dengan ruangan steril, bagaimanakah cara mensterilkan ruangan?, dengan menggunakan sinar ultraviolet, setelah sistem ini diimplementasikan maka setiap orang yang lewat akan segera tersterilisasi, kini teknologi seperti ini telah diketemukan, tetapi sesungguhnya sejak jaman dahulu, sang Buddha sudah menemukan dan membabarkan  kesucian dicapai dengan mengubah pola pikir,  ada sebuah pepatah berbunyi “Noda batin tak berbeda dengan Bodhi begitu pula sebaliknya, jika kita terpengaruh kondisi luar dan kehilangan kemurnian kesadaran kita, maka masalah akan terus timbul, noda batin dan tabiat buruk ini tak hentinya mengaduk batin kita sehingga terus ternoda, hakikat diri yang ternoda sesungguhnya murni dan suci. Saudara sekalian dengan berbagai cara saya menjelaskan ini semua bertujuan menunjukkan bahwa pikiran benar adalah inti pelatihan diri, pikiran menyimpang menciptakan karma buruk, pikiran sumber segala kesalahan, jadi pikiran ini harus sungguh-sungguh kita jaga dengan baik, jika tidak akan menciptakan karma buruk dalam setiap ucapan dan tindakan. Karma buruk muncul sebagai akibat  kemelekatan akan kondisi luar, dalam menghadapi kondisi luar semua tergantung pada pola pikir dan sikap yang kita gunakan. Semua yang ada, bunga, rumput dan kayu semuanya terlihat indah, jika kita melihatnya dengan hati yang jernih dan hening. Kita hendaknya dapat menghargai dan bersyukur atas apa yang ada di bumi ini, yang memungkinkan kita memiliki tempat tinggal yang indah. Lihatlah bila melihat segala sesuatu dengan penuh rasa syukur, bukankah kita akan diliputi dengan kebahagian. Berjalan dengan rasa syukur kita melangkah dengan lembut agar tidak menyakiti bumi, sikap menyayangi bumi sepeti ini karena ada rasa syukur, bayangkan jika sepanjang hari kita berpikir demikian, manakah yang membuat tidak bahagia?. Kita banyak memikirkan cara  untuk mengubah kondisi luar, rubahlah dengan mengubah pola pikir kita, jangan biarkan kondisi luar yang mengubah batin kita, jika demikian kita akan menderita, dan kemelekatan akan mudah timbul dalam batin kita dan akan membawa kerisauan. Jika dalam batin kita timbul ketamakan kondisi ini akan merasuk dalam batin dan meninggalkan jejak yang disebut kemelekatan, ketika melihat suatu kondisi kita merasakan keindahan dan bersyukur , setelah berlalupun kita tidak akan melekat. Dalam batin manusia pada dasarnya terdapat potensi dan hakikat murni namun hakikat yang murni ini belum dapat terbangkitkan, ketika dapat terbangkitkan inilah yang di sebut pencerahan.

Mengubah kondisi luar dengan mengubah pola pikir merupakan sikap bijaksana, membiarkan kondisi luar mempengaruhi kondisi hati merupakan noda batin.

Di Amerika tersiar sebuah berita, ada seorang wanita yang merokok hingga terkena kanker paru-paru, dan ia pun tahu penyebabnya adalah rokok, iapun menuntut perusahaan rokok tersebut dan meminta ganti rugi dengan jumlah yang sangat besar. Berita ini sangat menyita perhatian, mereka bertikai lama di pengadilan, wanita ini sudah merokok selama 40 tahun, putrinya memintanya untuk berhenti merokok tetapi ia menjawab saya orang dewasa memiliki kebebasan. Saat masih belia ia sudah mulai merokok dan orang tuanya memintanya untuk berhenti merokok, namun ia tidak menghiraukannya, dokter memperingatkannya agar dapat berhenti merokok tetapi ia tetap tidak dapat berhenti dari kebiasaanya merokok, penyakitnya menjadi akut, dokter memvonis kankernya telah mencapai stadium akhir. Menjawab tuntutan wanita perokok tersebut perusahaan rokok mengatakan dalam kemasan rokok  sudah terdapat peringatan dan petunjuk komposisi , anda sendiri yang tidak dapat berhenti merokok, meminta ganti rugi merupakan hal yang tidak masuk akal, persidangan berjalan cukup lama, akhirnya perusahaan rokok tersebut kalah namun tuntuntannya tidak terpenuhi semuanya. Rokok tidak pernah meminta wanita tersebut untuk menghisapnya, pikiran wanita tersebutlah yang melekat sehingga akhirnya menyebakan ia sakit dan meninggal dunia, terkadang kita tidak habis pikir, apa enaknya merokok, mengapa sangat sulit untuk berhenti merokok, ia hanya dihisap sebentar, didalamnya tidak ada apa-apa hanya asap yang terlihat, tekad manusia demikian tipis, inilah kemelekatan yang sudah sangat dalam sehingga sulit untuk lepas. Kehidupan kita lewati dengan penuh noda batin, 3 racun memenuhi keseharian kita sehingga perbuatan kita menjadi penuh kesalahan, sepatah kata yang terucap tanpa sengaja, mungkin dapat membawa potensi masalah. Kata-kata sangat mudah diucapkan, namun dalam berorganisasi ataupun hubungan antar keluarga.kata-kata yang diucapkan dengan ringan dan sambil lalu dapat menimbulkan masalah.

Noda batin terletak pada pikiran kita sendiri, jadi harap kita semua ingat dalam batin kita terdapat sesuatu yang tak pernah berubah dalam kondisi apapun yakni hakikat dan potensi diri kita, ketika berhadapan dengan noda batin kita memiliki potensi untuk mengikisnya asalkan kebijaksanaan kita mulai terbuka dan potensi yang ada dalam diri kita terbangkitkan, bagaikan antibodi yang terdapat dalam tubuh kita, semua permasalahan hidup akan lenyap ketika ia sampai pada tubuh kita karena itu sering  dikatakan tertawa membuyarkan segala kerisaua, jadi bergembiralah selalu, hadapilah kehidupan dengan hati yang terbuka .

Jagalah hati selalu setiap ucapan dan tindakan merupakan pintu gerbang terciptanya karma.




MENGHADAPI KEGELISAHAN DAN KETAKUTAN DALAM HIDUP

Menghadapi Kegelisahan Dan Ketakutan Dalam Hidup
Oleh : Bhikkhu Ratanaviro

Ratiyā jāyatī soko, ratiyā jāyatī bhayaṁ
ratiyā vippamuttassa, natthi soko kuto bhayaṁ
Dari kemelekatan timbul kesedihan, dari kemelekatan timbul ketakutan bagi orang 
yang telah bebas dari kemelekatan tiada lagi kesedihan maupun ketakutan. 
(Dhammapada; 214)


Namo Tassa Bhagavato Arahato Sammāsambuddhassa

Dalam menjalani kehidupan sehari-hari, banyak cara yang ditempuh orang untuk memperoleh kedamaian. Apapun yang dilakukan demi mencapai keinginannya tersebut, tetapi pada kenyataannya tidak semua keinginan itu dapat terpenuhi. Sebaliknya kegelisahan dan ketakutan dalam hiduplah yang didapat akibat dari ketidakmampuan membedakan dengan jelas, apakah yang dijalaninya itu benar-benar menghasilkan kedamaian atau malah sebaliknya mendatangkan kegelisahan dan ketakutan. Dalam hal ini seseorang harus berjuang untuk mempertahankan kehidupannya agar kegelisahan dan ketakutan dapat teratasi. Mempunyai materi yang cukup atau bahkan berlebihan tidak menjamin bahwa hidupnya selalu damai. Apalagi yang kekurangan materi, mungkin merasa beban hidupnya semakin bertambah sehingga kegelisahan dan ketakutan menjadi bagian dari hidupnya. Kita sebagai manusia yang belum terbebas dari belenggu kotoran batin tentunya tidak bisa terhindar sepenuhnya dari kegelisahan dan ketakutan.

Kegelisahan dan ketakutan sesungguhnya bersumber dari pikiran kita sendiri. Dalam Aṅguttara Nikāya 184, terdapat empat sebab munculnya kegelisahan dan ketakutan:
1. Kemelekatan terhadap nafsu kesenangan indera
Setiap orang tentu mendambakan kesenangan-kesenangan duniawi, seperti melihat hal-hal yang indah atau menyenangkan, mendengarkan suara yang merdu, mencium aroma yang wangi, makan makanan enak, memiliki rumah yang bagus, pakaian yang indah, alat transportasi yang bagus, serta memiliki keluarga yang harmonis. Kesenangan indera tersebut merupakan kesenangan yang menyimpan derita, karena banyak orang yang tidak bisa melepas kesenangan-kesenangan tersebut.
2. Kemelekatan terhadap tubuh
Tubuh yang sehat adalah dambaan setiap orang. Namun, tubuh pun akan berproses sesuai dengan sifatnya yaitu akan mengalami perubahan. Apabila kita tidak menyadari perubahan dari tubuh maka melekat pada keindahan tubuh akan memunculkan kegelisahan dan ketakutan.
3. Merasa belum melakukan perbuatan bajik dan bermanfaat
Dalam kehidupan sehari-hari kita selalu dikejar oleh kebutuhan hidup, baik yang sudah berumah tangga maupun yang belum berumah tangga. Sehingga apabila kita sibuk mencari kebutuhan hidup saja dan tidak menghiraukan perbuatan bajik dan bermanfaat dalam hidup, maka pada saat mengalami sakit yang kritis, kita tidak memiliki bekal kebajikan yang cukup. Sehingga membuat kita gelisah dan takut akan kehidupan selanjutnya.
4. Masih memiliki keraguan dan kebingungan tentang Dhamma
Di lingkungan tempat tinggal kita sendiri dari berbagai macam suku yang mempunyai tradisi masing-masing. Kehidupan kita tidak bisa terlepas dari tradisi. Setiap daerah memiliki tradisinya masing-masing. 
Apabila kita hidup dalam tradisi yang kuat, maka orang yang sering belajar Dhamma dan tidak mempraktikkannya akan mempunyai keyakinan yang lemah. Sehingga kemelekatan pada tradisi tanpa penyelidikan inilah yang menyebabkan seseorang mengalami kegelisahan dan ketakutan.

Sebab-sebab kegelisahan dan ketakutan yang sudah kita ketahui ini, bisa kita hadapi dengan lima perenungan yang terdapat dalam Aṅguttara Nikāya, 57:
1. Perenungan terhadap usia tua
Aku wajar mengalami usia tua. Aku takkan mampu menghindari usia tua. Ketika masih muda dengan rambut yang berwarna hitam, kulit yang masih kencang, tenaga yang masih kuat serta indera-indera yang masih normal. Kita sering membuang waktu dengan hal-hal yang tidak bermanfaat. Tetapi bagi kita yang mengerti tentang perenungan terhadap usia tua,  maka kita tidak akan membuang-buang waktu dengan hal-hal yang tidak bermanfaat dan ketika kita mengalami perubahan pada jasmani seperti; rambut menjadi putih, kulit menjadi keriput, tenaga menjadi berkurang serta inderanya sudah tidak berfungsi dengan baik lagi. Kita akan tetap tenang dan tidak gelisah serta tidak takut akan perubahan itu.
2. Perenungan terhadap penyakit
Aku wajar menyandang penyakit. Aku takkan mampu menghindari penyakit. Terlahir menjadi manusia tidak akan lepas dari sakit. Sakit merupakan bagian dari kehidupan yang akan kita alami. Dengan sering merenungkan bahwa kita tidak akan terhindar dari sakit maka kegelisahan dan ketakutan yang merupakan penyakit pikiran akan bisa teratasi. Sehingga, pada saat sakit fisik datang kita tidak akan menambah dengan penyakit pikiran.
3. Perenungan terhadap kematian
Aku wajar mengalami kematian. Aku takkan mampu menghindari kematian. Setiap kelahiran pasti akan diakhiri dengan kematian. Dengan kita merenungkan tentang kematian, kita akan hidup dengan waspada dan hati-hati dalam berpikir, berucap, dan berperilaku, sehingga kegelisahan dan ketakutan bisa kita kurangi.
4. Perenungan terhadap perubahan
Segala milikku yang kucintai dan kusenangi wajar berubah, wajar terpisah dariku. Manusia dalam menjalani hidup memerlukan kebutuhan hidup seperti pakaian, makanan, tempat tinggal, dan obat-obatan. Kita juga memiliki orang tua keluarga serta teman-teman. Tetapi yang harus kita pahami bahwa suatu saat apa yang kita miliki, cintai, dan senangi akan berubah dan berpisah dengan kita. Oleh karena itu, perenungan tentang perubahan ini mengajarkan kita agar tidak melekat pada apapun yang selama ini kita anggap milik kita. 
5. Perenungan tentang hukum kamma
Hukum kamma merupakan hukum yang berlaku universal kepada siapa saja, kapan saja, serta di mana saja. Dengan kita merenungkan tentang hukum kamma, maka kita akan lebih berhati-hati lagi dalam bertindak. 

Pengertian yang benar tentang Dhamma dan mau mempraktikkannya akan membantu kita dalam mengimbangi kesenangan-kesenangan duniawi. Sehingga kemelekatan yang membawa kita pada penderitaan seperti kegelisahan dan ketakutan akan dapat kita kurangi. Semoga kita semua tetap terus mempraktikkan Dhamma dalam kehidupan sehari-hari.

Semoga semua makhluk hidup berbahagia

Sumber:
1. Dhammapada, Bahussuta Society, 2013.
2. Petikan Aṅguttara Nikāya, Vihāra Bodhivaṁsa, 2013.
3. Paritta Suci, Yayasan Saṅgha Theravāda Indonesia, 2005.

IMPLEMENTASI AJARAN BUDDHA DALAM KRITERIA PENDIDIKAN

Implementasi Ajaran Buddha dalam Kriteria Pendidikan
Oleh : Bhikkhu Gunaseno

Namo Tassa Bhagavato Arahato Sammāsambuddhassa

Perjalanan kehidupan kita saat ini tentu akan menemukan berbagai jenis orang yang ditentukan dari sikapnya saat berbicara. Terkadang orang tersebut berbicara dengan sangat pandai, terkadang juga orang tersebut berbicara dengan kebijaksanaannya. Tetapi, terkadang pula ada orang yang berbicara dengan sangat pandainya sampai akhirnya ia merasa paling pandai di dalam suatu komunitas atau kelompok tersebut. Sebenarnya, Apakah yang mempengaruhi setiap karakter seseorang mampu berbicara dengan kepandaian dan kebijaksanaan? Apakah pengalaman di dalam kehidupan sehari-harinya mampu membentuk karakter dan kepribadian setiap orang? Bagaimanakah dengan pendidikannya? Apakah mampu untuk membuat orang tersebut menjadi pandai dan bijaksana?

Dalam agama Buddha, filosofis pendidikan dimulai dari Pangeran Siddharta yang mencapai penerangan sempurna dan menjadi Buddha. Mengapa dikatakan demikian? Sang Buddha merupakan seorang guru para dewa dan manusia (satthā devamanussānaṁ). Sebagai seorang guru, Sang Buddha telah mengajar para dewa dan manusia melalui berbagai macam metode dengan tujuan untuk membebaskan mereka dari penderitaan (dukkha). Dalam rumusan sebab musabab yang saling bergantungan (paticcasamuppāda), Sang Buddha menempatkan di urutan pertama yaitu ketidaktahuan (avijjā). Seperti yang terdapat dalam syair Dhammapada 243: “Yang terburuk dari semua noda adalah kebodohan (avijjā). Kebodohan merupakan noda yang paling buruk. O para bhikkhu, singkirkanlah noda ini dan hiduplah tanpa noda”.

Sang Buddha juga mengatakan, belajar merupakan jalan satu-satunya untuk dapat membebaskan diri dari kebodohan. Sang Buddha menjelaskan betapa pentingnya setiap orang harus belajar di dalam setiap kehidupan, hal ini tertulis di dalam syair Dhammapada 152: “Orang yang tidak mau belajar akan menjadi tua seperti sapi, dagingnya bertambah tetapi kebijaksanaannya tidak berkembang”. Selaras dengan perkembangan jaman sekarang, pendidikan merupakan tolok ukur bagi seseorang yang ingin “sukses” dalam menjalani kehidupannya dan tidak mau menderita di dalam kehidupannya. Pendidikan yang dikatakan sukses ketika setiap orang memperoleh nilai yang baik, pengetahuan yang banyak, kemampuan dalam segala bidang ia terampil, disertai sikap dan tingkah laku yang mulia. Seperti yang tertulis dalam syair Maṅgala Sutta: “Memiliki pengetahuan yang luas disertai keterampilan akan memperoleh suatu berkah”. Setiap orang akan memiliki pengetahuan dan keterampilan ketika ia mau dan mampu untuk belajar seumur hidupnya.

Seseorang yang memperoleh pendidikan akan terlihat dari tingkat perkembangannya, seperti yang dikatakan oleh Sang Buddha. Dalam perkembangan manusia, Sang Buddha membedakan menjadi empat tingkatan yaitu: Pertama, jenius (ugghatitaññu), diumpamakan sebagai bunga teratai yang telah muncul di atas permukaan air dan pasti mekar. Kedua, intelektual (vipacitaññu), seperti bunga teratai yang segera akan muncul di atas permukaan air. Ketiga, orang yang dapat dilatih (neyyo), bagaikan bungan teratai yang agak jauh di dalam air, sehingga perlu waktu yang cukup lama untuk muncul di permukaan. Keempat, orang yang gagal dilatih (padaparamo), menyerupai bunga teratai yang tidak sempat muncul di atas permukaan air. Setelah memahami tingkat perkembangan seseorang dalam mem-peroleh pendidikan, hal yang harus kita ketahui selanjutnya adalah “Bagaimana cara seseorang memulai pendidikannya sesuai dengan Dhamma? Serta Bagaimanakah pendidikan yang sesuai dengan kriteria ajaran Buddha? Seseorang yang mendidik disertai peranannya untuk mentransfer segala bentuk pengetahuan, informasi, dan keahliannya kepada peserta didik diartikan sebagai guru. Seorang guru yang profesional dalam agama Buddha ketika adanya hubungan yang harmonis serta memperlakukan muridnya seperti anaknya sendiri. Sedangkan seorang murid harus memperlakukan gurunya seperti terhadap orangtuanya sendiri. Dengan demikian, antara guru dan murid akan dipersatukan dengan sikap saling menghormati dan hidup dalam kebersamaan, sehingga mendapat peningkatan dan kemajuan dalam Dhamma dan Vinaya (Vinaya Pitaka IV, 45).

Setiap orang mampu untuk memperoleh pendidikan sesuai Dhamma yang diawali dari orang tua kita. Orang tua merupakan guru awal yang menjadi teladan bagi anak-anaknya. Pola pendidikan yang telah diberikan oleh orang tua sejak awal dalam Buddha Dhamma bukan hanya ketika seorang anak yang dikandung sudah terlahir sampai dewasa atau sampai meninggal. Namun, proses pendidikan yang dimaksud ialah pendidikan yang dimulai sejak anak lahir, mereka akan meniru apa saja yang telah mereka dengar, mereka lihat, dan mereka rasakan dari lingkungan sekitar mereka. Lingkungan yang paling dekat dengan anak adalah lingkungan keluarga. Anak-anak akan belajar langsung dari orangtuanya, berbicara, bergerak, makan, minum, dan berbagai aktivitas lainnya.

Seorang anak sejak dalam kandungan, orangtua terutama ibu akan mencurahkan sebagian besar perhatiannya agar anak yang masih dikandungnya merasa nyaman. Seorang ibu dengan hati-hati dalam bergerak dan beraktivitas. Ia bahkan seringkali menahan untuk tidak mengkonsumsi makanan favoritnya agar perkembangan bayi tidak terganggu. Kemudian, momen yang paling besar dan terberat ketika seorang ibu melahirkan anaknya. Ibu bertaruh nyawa demi keselamatan anaknya. Selain faktor-faktor tersebut, Sang Buddha juga menjelaskan faktor dasar peranan awal orang tua dalam mendidik anak-anaknya dimulai dari kemunculan atau pertemuan antara ayah dan ibu (mātāpitaro ca sannipatitā honti), kemudian saat seorang Ibu dalam keadaan subur (mātā ca utunī hoti), sehingga adanya makhluk (gandhabbo ca paccupaṭṭhita hoti) (MN II, Mahātaṇhāsankhaya Sutta hal 725-748).

Selanjutnya, ialah pendidikan yang sesuai dengan kriteria ajaran Buddha ketika seseorang mampu belajar dan berjuang untuk menjadi pandai dan bijaksana. Dalam mencapai kepandaian dan kebijaksanaan, seseorang harus memiliki tiga cara yang dapat dilakukan agar memiliki pengetahuan yang luas disertai dengan tata susila sehingga memperoleh kebijaksanaan. Diantaranya yaitu melalui berpikir (cintāmayā pañña), melalui membaca, mendengar, melihat, dan belajar hal lainnya (sutamayā pañña), dan melalui praktik meditasi atau pengalaman langsung (bhāvanāmayā pañña) (Dīghā Nikāya III, Saṅgiti Sutta, 220). Kedua cara pertama ini akan memberikan kebijaksanaan sebatas intelektualitas saja, bila seseorang pahami, secara mendalam dapat menyebabkan seseorang tersebut memiliki kebijaksanaan yang menjauhkan dari praktik Dhamma.

Dengan demikian, semua orangtua yang telah berharap anak-anaknya kelak menjadi pribadi yang sukses dalam hidup, akan berlomba-lomba untuk menyekolahkan anak mereka di lembaga pendidikan terbaik. Untuk membantu anak berhasil dalam kehidupannya kelak, orang tua perlu mencermati hal-hal mendasar yang dibutuhkan anak sebagai fondasi keberhasilan hidup. Hal yang paling mendasar yang harus diperhatikan antara lain adalah konsep diri, sikap, kepribadian, karakter, nilai hidup, kepercayaan, kejujuran, kepemimpinan, kemampuan komunikasi yang baik, kedisiplinan, dan motivasi yang tinggi.

Secara ringkas, kesimpulan di akhir ceramah saya adalah setiap orangtua akan memperhatikan anaknya dalam hal berikut: orang tua yang bijaksana akan membantu anaknya mengenali dirinya (kekuatan maupun kelemahannya), membantu anaknya untuk mengembangkan potensi yang sesuai bakat dan minatnya, membantu meletakkan fondasi yang kokoh untuk keberhasilan hidup anaknya, dan membantu anaknya untuk merancang tujuan hidupnya setelah pendidikannya selesai. Dengan masa depan anaknya yang sesuai dengan tujuan hidupnya, maka karier atau pekerjaan akan dicapai sehingga ia disebut sebagai anak yang tekun dan patuh terhadap pekerjaan yang dicapainya.

MEMBANGUN BUDAYA SANTUN DALAM AGAMA BUDDHA

MEMBANGUN BUDAYA SANTUN DALAM AGAMA BUDDHA

Oleh: Bhikkhu Uggaseno

Sukarāni asādhūni, attano ahitāni ca
yaṁ ve hitañ ca sādhuñ ca, taṁ ve paramadukkaraṁ.
Sungguh mudah untuk melakukan hal-hal yang buruk dan tidak bermanfaat,
tetapi sungguh sulit untuk melakukan hal-hal yang bermanfaat.

(Dhammpada Atta-Vagga; 163)  

Secara umum banyak orang telah melupakan nilai-nilai keluhuran yang telah diajarkan dalam ilmu perilaku yang dikenal dengan sebutan “Agama”. Nilai keluhuran tertuang dalam norma budaya dengan istilah budaya santun. Budaya santun merupakan ajaran yang telah diwariskan oleh para leluhur. Budaya santun secara Buddhis juga telah diajarkan oleh Buddha dalam Dhamma yang dikenal dengan etika atau moralitas. Dalam kamus besar Bahasa Indonesia arti dari santun adalah (1) halus dan baik (budi bahasanya, tingkah lakunya); sabar dan tenang; sopan; (2) penuh rasa belas kasihan; suka menolong.

Terkait dengan hal tersebut dapat disimpulkan bahwa santun merupakan suatu ilmu yang mengajarkan seseorang untuk menjadi lebih halus dan lemah lembut. Pernyataan ini telah Buddha jelaskan dalam bait Maṅgala Sutta yaitu “terlatih baik dalam tata susila”. Manusia pada umumnya wajar melakukan tindakan kesalahan, akan tetapi menjadi tidak wajar apabila selalu melakukan keburukan tanpa adanya tindakan untuk menyadari perbuatan buruknya.

Perbuatan buruk merupakan kebiasaan (budaya) yang sering dilakukan oleh setiap orang. Perbuatan buruk yang tidak membawa manfaat dapat dilakukan dari tiga pintu indria, yaitu pikiran, ucapan, dan perilaku badan jasmani. Budaya santun akan terbentuk apabila seseorang dapat menjalankan isi dari Maṅgala Sutta yang berbunyi sebagai berikut:
Bāhusaccañca sippañca 
Vinayo ca susikkhito  
Subhāsitā ca yā vācā Etammaṅgalamuttamanti.
Berpengetahuan luas, berketerampilan, terlatih baik dalam tata susila, dan bertutur kata dengan baik, itulah Berkah Utama.

a.Santun Berpikir
Keburukan yang dilakukan dari pikiran sering terjadi dengan berpikir buruk terhadap orang lain, berpikir keliru, memiliki pandangan salah. Hal-hal tersebut sudah menjadi budaya yang tidak baik dalam diri seseorang yang seharusnya mampu berpikir jernih. Santun dalam berpikir akan terbentuk apabila seseorang memiliki pengetahuan dalam berpikir yang ditembus dalam pengembangan meditasi, yaitu mengetahui dengan jelas pikiran baik dan buruk yang sedang muncul. Secara bijaksana seseorang memotong pikiran buruknya dengan kesadaran, perhatian, dan kewaspadaan. Selanjutnya adalah memiliki keterampilan dalam berpikir, yaitu mampu terampil dalam menata pikiran, disamping seseorang terampil dalam segi kerajinan tangan. Keterampilan yang sesuai Dhamma merupakan bagian dari seni yang juga dipuji oleh Sang Buddha. Orang yang tidak terampil dalam menata pikiran, maka ia akan dengan serampangan berpikir hal-hal yang buruk dan tidak bermanfaat dengan mudah. Terkait pikiran, tertuang dalam Dhammapada Yamaka-vagga, 1; “pikiran adalah pelopor dari segala sesuatu. Pikiran adalah pemimpin, pikiran adalah pembentuk”. Bila seseorang berbicara dan berperilaku dengan pikiran jahat, maka penderitaan akan mengikutinya bagaikan roda pedati mengikuti langkah kaki lembu yang menariknya. Begitu pula sebaliknya, apabila seseorang memiliki pikiran, ucapan, dan perilaku yang murni, maka perbuatan baiknya akan mengikuti seperti bayang-bayang yang tidak pernah meninggalkan bendanya. 

b.Santun Bertutur Kata
Ucapan yang tidak baik terkadang seseorang melakukannya dengan sengaja. Hal ini merupakan tindakan dari keburukan yang sering dilakukan. Terkadang orang mengucapkan istilah salam “Namo Buddhaya”, akan tetapi kelanjutan dari rentetan pembicaraannya berisikan ucapan yang buruk dan tidak bermanfaat. Umat Buddha yang terkadang sering ke vihara justru menjadi pelaku dalam ucapan yang tidak baik, seperti memarahi orang dengan kata-kata kasar, gosip, dan memfitnah. Hal-hal ini tidak sesuai dengan isi Maṅgala Sutta yaitu “bertutur kata dengan baik (vinayo ca susikkhito).” Santun dalam berucap adalah seseorang dengan pengetahuannya dapat mengendalikan ucapannya untuk tidak melontarkan kata-kata yang buruk dan tidak bermanfaat. Sehingga perasaan orang lain terluka karenanya. 

c.Santun Berperilaku
Perilaku yang dilakukan oleh badan jasmani dituntut untuk diwaspadai. Banyak orang yang melupakan budaya santun dalam berperilaku. Berperilaku dapat dikategorikan dalam beberapa bagian, yaitu berperilaku dalam tindakan dan berperilaku dalam berbusana. Realita yang dapat dilihat apabila melakukan perbandingan umat Buddha di daerah, desa, pedalaman jauh lebih santun dalam berperilaku dalam tindakan, seperti contoh mereka ke vihara selalu memberi salam anjali pada sahabat-sahabatnya, memberikan perhatian dikala sakit, membantu pada saat ada kegiatan, tahu malu pada saat di vihara dengan mendengarkan ceramah Dhamma secara serius, tidak berbicara sendiri, tidak bermain handphone, tahu batas ukuran makan, sebagai intinya rasa toleransi masih terpelihara dengan baik. 

Selain itu berbudaya santun dalam berpakaian, semua serba tertutup dalam berpakaian, punya rasa enggan ke vihara dengan busana yang serba kekurangan. Kalau dibandingkan dengan umat Buddha di kota, meskipun tidak semuanya. Akan tetapi ada diantara mereka ke vihara tidak beretika dalam berbusana, hal ini juga kurang terampil dalam memilih pakaian. Selain itu juga perasaan malu dalam menyapa orang yang ditemui dengan bersikap anjali. Budaya anjali seolah-olah bukan tradisi buddhis, sehingga malu untuk melakukannya. Buddha juga menjelaskan dalam Maṅgala Sutta: 
Attasammāpaṇidhi ca, Etammaṅgalamuttamaṁ (membimbing diri dengan benar, merupakan bagian dari berkah utama). Apabila seseorang semasa hidupnya tidak membimbing diri dengan benar, justru menjerumuskan diri ke dalam liang derita, maka dalam waktu yang panjang pula penderitaan yang dirasakan pada dirinya. Berbuat buruk dan hal yang tidak bermanfaat adalah suatu hal yang mudah dan sulit bagi mereka yang mau berbuat baik dan hal yang bermanfaat. 

Hidup seseorang akan bermanfaat, bahagia, tentram, damai, apabila mampu menerapkan budaya santun dalam berpikir, berucap, dan berperilaku. Hal ini telah dijelaskan oleh Sang Buddha dalam Aṅguttara Nikāya III; 50, yaitu: “Makhluk apapun yang berperilaku benar lewat tubuh, ucapan, dan pikiran. Sepanjang pagi, siang, dan malam, maka sepanjang itupula mereka akan bahagia dan kebahagiaan itu akan menjadi milik mereka”. 

Referensi:
-Bodhi, Nyanaponika. 2003. Petikan Aṅguttara Nikāya. Vihāra Bodhivaṁsa.
-Bodhi, Nyanaponika. 2003. Majjhima Nikāya. Vihāra Bodhivaṁsa. 
-Vijāno. 2013. Dhammapada. Tanpa kota: Bahussuta Society.



JALAN MENUJU KEBAHAGIAAN

JALAN MENUJU KEBAHAGIAAN
Oleh : Bhikku Santadhiro


Uttiṭṭhe nappamajjeyya, dhammaṁ sucaritaṁ care.
Dhammacāri sukhaṁ seti, asmiṁ loke paramhi ca'ti.
Bangun jangan lengah, Tempuhlah kehidupan benar.
Barang siapa menempuh kehidupan benar, Maka ia akan hidup bahagia di dunia ini maupun di dunia berikutnya.
(Dhammapada syair 168)

Namo Tassa Bhagavato Arahato Sammāsambuddhassa


Semua makhluk hidup termasuk manusia mencari kebahagiaan, menginginkan kebahagiaan, tidak ada yang menginginkan penderitaan. Tetapi sayang sekali, kebanyakan dari kita berpikir bahwa kebahagiaan tersebut datang dari faktor luar, dari kenikmatan penglihatan, suara, aroma, rasa, sentuhan maupun objekobjek pikiran. Mata kita menginginkan dan mencari pemandangan yang indah dan menyenangkan. Kita banyak menghabiskan waktu untuk menonton pertunjukan, film, video ataupun televisi. Telinga kita menginginkan dan mencari suara yang merdu, musik yang indah maupun pujian-pujian. Hidung kita menghendaki aroma yang wangi, harum, dan lembut. Lidah kita menginginkan rasa yang enak dan manis, makanan dan minuman yang lezat serta nikmat. Kita makan bukan untuk mempertahankan tubuh, tetapi untuk memuaskan nafsu keinginan kita. Kita makan berlebihan dan kemudian mencoba keras untuk menurunkan berat badan. Tubuh kita menginginkan sentuhan yang lembut dan halus, tempat duduk dan tempat tidur yang nyaman dan empuk. Pikiran kita selalu berkelana dan mengembara di alam khayal dan fantasi, menghayalkan masa depan yang cemerlang ataupun mengingat kenangan indah masa lalu.

 

Kita berpikir bahwa keenam objek indria ini dapat memberikan kebahagiaan dan kepuasan sejati  bagi kita, dan perbuatan kita pun mengikuti pikiran tersebut. Jadi dengan tubuh ini, kita mencari berbagai kenikmatan melalui keenam objek indria kita, dengan melupakan bahaya dari sensasi kenikmatan tersebut, melupakan bahwa semakin kita menikmati kesenangan indria, semakin kita melekat kepadanya. Perasaan senang yang muncul karena menikmati objek-objek tersebut akan menimbulkan nafsu keinginan yang berlebihan, dan bergantung atas nafsu keinginan yang berlebihan tersebut, kita mendapatkan diri kita melekat pada keenam objek indria sampai kita tidak dapat melepaskannya. Kita melekat kepada keenam objek indria tersebut dan kita diperbudak oleh keenam objek indria tersebut.

 

Bagaimana kita sampai diperbudak oleh kenikmatan-kenikmatan sensual. Contoh; kadang-kadang kita memiliki luka di bagian tubuh dan menimbulkan rasa sangat gatal, sehingga kita harus menggaruknya. Tetapi kita juga mengetahui bahwa semakin kita sering menggaruknya, maka luka itu akan menjadi semakin parah. Tetapi kita tidak dapat mengendalikan pikiran kita untuk tidak menggaruknya, kita terus menggaruk luka tersebut. Mengapa kita terus menggaruknya? ini dikarenakan ketika kita sedang menggaruk luka tersebut kita merasa puas dan nyaman walaupun membuat luka itu semakin parah. Tetapi kita tidak peduli akan akibatnya, yang lebih penting adalah kepuasan dan kenikmatan yang muncul dari garukan tersebut. Adalah sama halnya dengan semua kenikmatan sensual. Ketika anda menikmati kesenangan sensual, tentu saja anda akan merasa puas dan senang, tetapi luka-luka yang diakibatkannya tidak dapat diremehkan. Sang Buddha membandingkan kenikmatan sensual sebagai seseorang yang memegang obor yang menyala dengan berlari melawan arah angin. Karena ia berlari melawan arah angin, maka api dari obor tersebut akan mengarah ke belakang dan mengenai orang tersebut. Hanya dengan melepaskan obor yang menyala itu maka ia akan terhindar dari terbakar api obor tersebut.


Adalah hal yang penting untuk dimengerti bahwa kenikmatan yang kita peroleh dari keenam objek indria tidak akan pernah membawa kita dalam kebahagiaan yang kekal. Jika begitu, apakah jalan menuju kebahagiaan kekal itu? jalan menuju kebahagiaan kekal itu adalah Jalan Mulia Berunsur Delapan.Dan, apakah Jalan Mulia Berunsur Delapan itu? Jalan Mulia Berunsur Delapan itu adalah Pandangan Benar, Pikiran Benar, Ucapan Benar, Perbuatan Benar, Mata Pencaharian Benar, Daya Upaya Benar, Perhatian Benar, dan Konsentrasi Benar.

 

Apakah Pandangan Benar itu? Pandangan Benar adalah pemahaman atau pengertian  tentang Empat Kebenaran Mulia yaitu Kebenaran Mulia tentang penderitaan, Kebenaran Mulia tentang penyebab penderitaan, Kebenaran Mulia tentang lenyapnya penderitaan, dan Kebenaran Mulia tentang jalan untuk menuju lenyapnya penderitaan.

 

Apakah Pikiran Benar itu? Pikiran Benar adalah pikiran yang bebas dari nafsu indria, pikiran yang bebas dari kebencian, dan pikiran yang bebas dari kekejaman.

 

Apakah Ucapan Benar itu? Ucapan Benar adalah ucapan yang bebas dari kebohongan, fitnah, caci maki atau omong kosong yang tidak bermanfaat.

 

Apakah Perbuatan Benar itu? Perbuatan Benar adalah perbuatan yang menghindari pembunuhan makhluk hidup, pencurian, dan penyalahgunaan seksual.

 

Apakah Mata Pencaharian Benar itu? Mata Pencaharian Benar adalah mata pencaharian yang tidak merugikan makhluk lain dan juga tidak merugikan diri sendiri. Misalnya; Mata pencaharian yang tidak mengakibatkan pembunuhan, penipuan. Mata pencaharian yang menghindari lima macam perdagangan yang tidak diperkenankan yaitu berdagang senjata, makhluk hidup, daging, minuman yang memabukkan, dan racun. 

 

Apakah Daya Upaya Benar itu? Sehubungan dengan hal ini, seseorang harus membangkitkan hasrat untuk berusaha, berjuang mengarahkan pikirannya dalam mencegah timbulnya keinginan tidak baik yang belum muncul, melenyapkan keinginan tidak baik yang telah ada, membangkitkan keinginan baik yang belum muncul dan akhirnya, ia harus membangkitkan hasrat untuk berusaha, berjuang mengarahkan pikirannya untuk menjaga kelangsungan, menumbuhkan, mengembangkan, dan memenuhi keinginan baik yang sudah ada.

 

Apakah Perhatian Benar itu? Sehubungan dengan hal ini, seseorang harus melakukan perenungan untuk memperhatikan dengan sungguh-sungguh batin dan badan jasmaninya, sehingga dapat mengendalikan diri terhadap godaan nafsu keinginan duniawi. Yang terakhir, apakah Konsentrasi Benar itu? Sehubungan dengan hal ini, seseorang harus berlatih meditasi untuk memusatkan pikirannya agar pikirannya dapat terkonsentrasi pada objek meditasi dengan kuat dan terpusat, mencapai jhana.

 

Namun, Jalan Mulia Berunsur Delapan tersebut adalah jalan yang sangat panjang, kadang rata dan kadang berlubang-lubang, disertai dengan tikungan dan kelokan yang sangat tajam, dan jika kita ingin menempuh jalan itu dengan langkah yang mantap tanpa tergelincir, kita memerlukan suatu pertolongan. Pertolongan yang dimaksud adalah perlindungan Tiratana (Buddha, Dhamma, dan Sangha).

 

Selamat mempraktikkan Dhamma. Semoga semua makhluk hidup berbahagia.

 

Referensi :

1. Dhammapada

2. Buddha Vacana

3. Jalan Menuju Kebahagiaan