Sabtu, 27 Juli 2013

(118) Kisah Lajadevadhita

Dhammapada

BAB IX. PAPA VAGGA – Kejahatan

(118)Apabila seseorang berbuat bajik, hendaklah dia mengulangi perbuatannya itu dan bersuka cita dengan perbuatannya itu, sungguh membahagiakan akibat dari memupuk perbuatan bajik.

Dhammapada Atthakatha :  

(118) Kisah Lajadevadhita

Suatu ketika Mahakassapa Thera sedang berdiam di gua Pippali dan berada dalam suasana batin khusuk bermeditasi mencapai konsentrasi tercerap (samapatti) selama tujuh hari. Segera setelah beliau bangun dari samapatti, beliau berkeinginan memberi kesempatan pada seseorang untuk mendanakan sesuatu kepada orang yang baru bangkit dari samapatti.

Beliau melihat keluar dan menemukan seorang pelayan muda sedang menabur jagung di halaman rumah. Maka Thera berdiri di depan pintu rumahnya untuk menerima dana makanan. Wanita itu meletakkan seluruh jagungnya ke mangkuk Thera. Ketika wanita itu pulang setelah mendanakan jagung kepada thera, dia dipatuk oleh seekor ular berbisa dan meninggal dunia. Dia terlahir kembali di alam surga Tavatimsa dan dikenal sebagai Lajadevadhita. "Laja" berarti jagung.

Laja menyadari bahwa dia terlahir kembali di alam surga Tavatimsa karena dia telah berdana jagung kepada Mahakassapa Thera, maka ia sangat menghormati Mahakassapa Thera. Kemudian Laja memutuskan, dia harus melakukan jasa baik kepada Thera agar kebahagiaannya dapat bertahan. Jadi setiap pagi wanita itu pergi ke vihara tempat Thera berdiam, menyapu halaman vihara, mengisi tempat air, dan melakukan jasa-jasa lainnya.

Pada mulanya thera berpikir samanera-samanera yang melakukan pekerjaan tersebut. Tetapi pada suatu hari thera mengetahui yang melakukan pekerjaan tersebut adalah seorang dewi. Kemudian thera memberi tahu dewi tersebut untuk tidak datang ke vihara itu lagi. Orang-orang akan membicarakan hal-hal yang tidak baik jika dia tetap datang ke vihara.

Mendengar hal itu, Lajadevadhita sangat sedih, menangis dan memohon kepada Thera, "Tolong jangan hancurkan kekayaan dan harta benda saya."

Sang Buddha mendengar tangisannya dan kemudian mengirim cahaya dari kamar harum Beliau dan berkata kepada dewi tersebut, "Devadhita, itu adalah tugas murid-Ku Kassapa untuk melarangmu ke vihara, melakukan perbuatan baik adalah tugas seseorang yang berniat besar memperoleh buah perbuatan baik. Tetapi, sebagai seorang gadis, tidak patut untuk datang sendirian dan melakukan berbagai pekerjaan di vihara."

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair berikut:

"Puññañ ce puriso kayirā
Kayirāth’ enaṃ punappunaṃ
tamhi chandaṃ kayirātha
sukho puññassa uccayo."

Apabila seseorang berbuat bajik,
hendaklah dia mengulangi perbuatannya itu
dan bersuka cita dengan perbuatannya itu,
sungguh membahagiakan akibat dari memupuk perbuatan bajik.

Lajadevadhita mencapai tingkat kesucian sotapatti setelah khotbah Dhamma itu berakhir.

------------------------
Notes :
Ada dua konteks disini.
Konteks pertama adalah mengenai ketidakpantasan seorang gadis (dewi) yang setiap pagi-pagi buta datang sendirian ke tempat Mahakassapa Thera. Hal ini kemungkinan besar akan mendatangkan kritik dan pergunjingan orang-orang. Sang Buddha membenarkan tindakan Mahakassapa yang melarang Laja datang sendirian, karena dapat menyebabkan pembicaraan yg tidak baik.

Konteks yang kedua, Sang Buddha menyetujui bahwa perbuatan yang baik hendaknya diulang kembali. Dalam hal ini Laja seharusnya dapat memikirkan cara lain untuk berbuat kebajikan tanpa mengkompromikan norma-norma sosial yang berlaku saat itu.

Mengenai Mahakasssapa sendiri, Beliau memprioritaskan memberi kesempatan berdana kepada orang miskin, ketimbang para dewa. Contohnya dalam kisah ke 56, juga Udana 3:7, beliau menolak 500 dewata yang hendak memberinya dana makanan, tetapi Sakka, raja para dewa, menyamar menjadi penenun tua dan miskin, sehingga berhasil memberinya dana. Selain itu juga, karena Mahakassapa memilih menjalankan jenis pertapaan keras, tentu ia menghindari menerima dana dari para dewa karena apa yang diberikan oleh para dewa ini kualitasnya sangat bagus dan halus.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar