Selasa, 30 Juli 2013

(225) Kisah Seorang Brahmana Yang Mengaku Sebagai Ayah Sang Buddha

Dhammapada 

  • BAB XVII. KODDHA VAGGA - Kemarahan

    (225)Orang-orang suci yang tidak menganiaya mahluk lain dan selalu terkendali jasmaninya, akan sampai pada `Keadaan Tanpa Kematian` (nibbana); dan setelah sampai pada keadaan itu, kesedihan tak akan ada lagi dalam dirinya.


    Dhammapada Atthakatha : 

    (225) Kisah Seorang Brahmana Yang Mengaku Sebagai Ayah Sang Buddha

    Suatu saat Sang Buddha bersama beberapa bhikkhu memasuki kota Saketa untuk berpindapatta. Seorang brahmana tua melihat Sang Buddha, mendekati-Nya dan berseru, "O Nak! Mengapa Engkau tidak mengijinkan kami melihatmu selama ini? Ikutlah bersamaku dan biarlah ibuMu juga melihatMu." Setelah berkata demikian, ia mengundang Sang Buddha ke rumahnya. Sampai di rumahnya, istri brahmana pun mengatakan hal yang sama dan memperkenalkan Sang Buddha sebagai `kakak tertua` kepada anak-anaknya dan menyuruh mereka memberi hormat kepada-Nya. Sejak hari itu, suami istri tersebut memberikan dana makanan kepada Sang Buddha setiap hari dan setelah mendengarkan beberapa khotbah Dhamma, suami istri itu mencapai tingkat kesucian anagami.

    Para bhikkhu heran, mengapa pasangan brahmana itu mengatakan bahwa Sang Buddha adalah putra mereka; merekapun bertanya kepada Sang Buddha. Kemudian Sang Buddha menjelaskan, "Para bhikkhu, mereka memanggilku `Nak` karena aku adalah anak atau kemenakan dari salah satu di antara mereka selama 1.500 kali kelahiran yang lampau." Sang Buddha terus tinggal di dekat rumah pasangan brahmana sampai tiga bulan lebih, dan selama itu baik brahmana maupun istrinya mencapai tingkat kesucian arahat, dan kemudian meninggal dunia merealisasi `Kebebasan Akhir` (parinibbana).

    Para bhikkhu tidak mengetahui bahwa pasangan brahmana itu telah mencapai tingkat kesucian arahat, mereka bertanya kepada Sang Buddha, di mana pasangan itu akan terlahir kembali. Sang Buddha menjawab, "Mereka yang telah mencapai tingkat kesucian arahat, tidak akan terlahir kembali di mana pun juga, mereka telah merealisasi `Kebebasan Mutlak` (nibbana)."

    Kemudian Sang Buddha membabarkan syair berikut :

    "Ahiṃsakā ye munayo niccaṃ kāyena saṃvutā
    te yanti accutaṃ ṭhānaṃ yattha gantvā na socare."

    Orang-orang suci yang tidak menganiaya mahluk lain
    dan selalu terkendali jasmaninya,
    akan sampai pada `Keadaan Tanpa Kematian` (nibbana);
    dan setelah sampai pada keadaan itu, kesedihan tak akan ada lagi dalam dirinya.
    ---------------------------------------
    Notes:

    Biasanya jika bukan anggota Sangha tetapi mencapai arahat setelah mendengar khotbah Sang Buddha, mereka segera masuk dalam persamuan Sangha. Contohnya Jambuka (kisah 70), Samanera dari Kosambi (kisah 96), Aggidatta dan semua pengikutnya (kisah 188-192), Ratu Khema (kisah 347), Uggasena (kisah 348).

    Dikatakan jika telah mencapai arahat, harus meninggalkan kehidupan duniawi atau merealisasi Nibbana (maksudnya meninggal dunia). Hal ini dikarenakan tidak mungkin lagi seorang arahat menjalani kehidupan duniawi. Sudah tidak cocok lagi, cara pandang, sikap dll. Coba perhatikan cerita-cerita lainnya, semua yang mencapai arahat kalau tidak menjadi bhikkhu / bhikkhuni, maka ia akan meninggal tidak lama kemudian; misalnya Bahiya (kisah no.101), menteri Santati (kisah no. 142), Brahmana dan isterinya (dua orang) di kisah no.225 ini, dan juga Raja Suddhodana ayah pangeran Siddhartha yang meninggal segera setelah mencapai arahat (ThigA.141). Tidak ada yang hidup terus sebagai umat perumah tangga. Yang tercatat masih tetap hidup berumah tangga, maksimum hanya anagami.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar