Rabu, 31 Juli 2013

(305) Kisah Thera Yang Berdiam Seorang Diri

Dhammapada 

  • BAB XXI. PAKINNAKA VAGGA - Bunga Rampai

    (305)Ia yang duduk sendirian, tidur sendirian, berjalan sendirian, tanpa rasa jemu serta selalu membina diri, akan bergembira di dalam hutan.


    Dhammapada Atthakatha :   

    (305) Kisah Thera yang Berdiam Seorang Diri
     

    Ketika berdiam di Vihara Jetavana, Sang Buddha mengutarakan syair ini, berkenaan denga seorang bhikkhu yang hidup menyendiri. Karena ia biasanya selalu sendirian, ia dikenal dengan nama Ekavihari Thera. (Eka = satu, sendiri. Vihari = tinggal/kediaman).

    Ekavihari Thera tidak banyak bergaul dengan bhikkhu-bhikkhu lain. Ia biasa berdiam seorang diri. Ia akan tidur, berbaring, berdiri, atau berjalan seorang diri. Bhikkhu-bhikkhu lain berprasangka buruk terhadap Ekavihari dan berkata kepada Sang Buddha tentang dirinya. Tetapi Sang Buddha tidak menyalahkannya. Sebaliknya Beliau berkata, "Ya, sesungguhnya anak-Ku telah melakukan hal yang baik, karena, seorang bhikkhu seharusnya berdiam dalam kesunyian dan kesendirian."

    Kemudian Sang Buddha membabarkan syair berikut :

    "Ekāsanaṃ ekaseyyaṃ eko caram atandito
    eko damayam attānaṃ vanante ramito siyā."

    Ia yang duduk sendirian, tidur sendirian, berjalan sendirian dengan tekun
    serta selalu membina diri, akan bergembira di dalam hutan.


    -----------------------------------
    Notes :

    Yang dimaksud dengan ‘duduk sendirian, tidur sendirian, berjalan sendirian’ adalah
    gerak-gerik yang dilakukan ketika sedang melakukan meditasi vipassana. Jadi ia melatih meditasi vipassana setiap saat.

(304) Kisah Culasubhadda

Dhammapada 

  • BAB XXI. PAKINNAKA VAGGA - Bunga Rampai

    (304)Meskipun dari jauh, orang baik akan terlihat bersinar bagaikan puncak pegunungan Himalaya. Tetapi, meskipun dekat, orang jahat tidak akan terlihat, bagaikan anak panah yang dilepaskan pada malam hari.


    Dhammapada Atthakatha :   

    (304) Kisah Culasubhadda

    Anathapindika dan Ugga, orang kaya dari Ugga, belajar di bawah bimbingan guru yang sama ketika mereka berdua masih muda. Ugga mempunyai seorang anak laki-laki dan Anathapindika mempunyai seorang anak perempuan. Ketika anak-anak mereka telah cukup umur, Ugga meminta persetujuan Anathapindika untuk menikahkan kedua anak mereka. Dengan demikian pernikahan diadakan, dan Culasubhadda, anak perempuan Anathapindika, harus tinggal di rumah mertuanya.

    Ugga dan keluarganya adalah pengikut petapa non-Buddhist. Suatu saat mereka mengundang petapa tersebut ke rumahnya. Pada kesempatan itu, Ugga meminta Culasubhadda, untuk memberi penghormatan kepada para petapa telanjang tersebut, tetapi ia selalu menolak untuk memenuhinya. Sebaliknya, ia bercerita kepada ibu mertuanya tentang Sang Buddha dan sifat-sifat mulia Beliau.

    Ibu mertua Culasubhadda, sangat ingin bertemu dengan Sang Buddha, setelah ia diberitahu tentang Sang Buddha oleh menantu perempuannya. Ia bahkan menyetujui permintaan Culasubhadda mengundang Sang Buddha untuk menerima dana makanan di rumahnya.

    Culasubhadda menyiapkan makanan dan mengumpulkan persembahan lainnya untuk Sang Buddha beserta murid-murid Beliau. Kemudian ia naik ke tempat yang paling tinggi di rumahnya dan melihat ke arah Vihara Jetavana. Ia membuat persembahan bunga serta dupa dan merenungkan sifat-sifat dan kebajikan mulia Sang Buddha (Buddhanussati). Ia kemudian mengucapkan keinginannya, "Bhante! Semoga hal ini membuat Bhante berkenan datang, bersama dengan murid-murid Bhante, ke rumah kami esok hari. Saya, umat awam yang berbakti, dengan penuh hormat mengundang Bhante. Semoga permohonanku diketahui oleh Bhante melalui lambang dan sikap seperti ini." Kemudian ia mengambil delapan genggam bunga melati dan menebarkannya ke langit. Bunga-bunga itu mengambang di udara menuju Vihara Jetavana dan terletak menggantung pada langit-langit ruang pertemuan tempat Sang Buddha sedang membabarkan Dhamma. Pada akhir khotbah Beliau, Anathapindika, ayah Culasubhadda, mendekati Sang Buddha untuk mengundang menerima dana makanan di rumahnya pada esok hari.

    Sang Buddha menjawab bahwa ia telah menerima undangan Culasubhadda untuk esok hari. Anathapindika bingung dengan jawaban Sang Buddha dan berkata, "Tetapi, Bhante! Culasubhadda tidak tinggal di Savatthi sini, ia tinggal di Ugga yang berjarak seratus dua puluh yojana dari sini." Kepadanya Sang Buddha berkata, "Benar, perumah tangga, tetapi kebaikannya jelas terlihat nyata seakan-akan hadir meskipun hal itu mungkin berada pada jarak jauh."

    Kemudian Sang Buddha membabarkan syair berikut :

    "Dūre santo pakāsenti himavanto va pabbato,
    asant' ettha na dissanti rattikhittā yathā sarā."

    Meskipun dari jauh, orang baik akan terlihat bersinar bagaikan puncak pegunungan Himalaya.
    Tetapi, meskipun dekat, orang jahat tidak akan terlihat, bagaikan anak panah yang dilepaskan pada malam hari.

    Hari berikutnya, Sang Buddha datang ke rumah Ugga, ayah mertua Culasubhadda. Sang Buddha diiringi dengan lima ratus bhikkhu dalam perjalanan ini, mereka semua datang melalui udara dalam perahu penuh dekorasi yang diciptakan atas perintah Sakka, Raja para dewa. Melihat Sang Buddha dalam kemegahan dan keagungannya, ayah mertua Culasubhadda sangat terkesan dan mereka memberi penghormatan kepada Sang Buddha. Untuk tujuh hari berikutnya, Ugga dan keluarganya memberi dana makanan dan membuat persembahan kepada Sang Buddha beserta murid-murid Beliau.



    ------------------------------------
    Notes :
    Anathapindika mempunyai 1 orang putra bernama Kala, dan 3 orang putri bernama Mahasubhadda, Culasubhadda, dan Sumana (Sumanadevi). Sewaktu Culasubhadda masih tinggal di rumah orangtuanya, bersama kakak perempuannya ia bertugas mengurus pembagian makananan kepada para bhikkhu di rumah Anathapindika. Culasubhadda mencapai tingkat kesucian Sotapatti sewaktu masih tinggal di rumah orangtuanya.

(303) Kisah Citta, Si Perumah Tangga

Dhammapada 

BAB XXI. PAKINNAKA VAGGA - Bunga Rampai

(303)Ia yang memiliki keyakinan dan sila yang sempurna,yang memiliki nama harum dan kekayaan, akan dihormati kemanapun ia pergi.


Dhammapada Atthakatha :   

(303) Kisah Citta, Si Perumah Tangga

Citta, setelah mendengarkan Dhamma yang diuraikan oleh Yang Ariya Sariputta, mencapai tingkat kesucian anagami. Suatu hari, Citta mengisi penuh lima ratus keretanya dengan makanan dan persembahan lainnya untuk diberikan kepada Sang Buddha serta murid-murid Beliau. Ia berangkat menuju Savatthi bersama rombongan pengikutnya yang berjumlah tiga ribu orang. Mereka berjalan menempuh jarak satu yojana setiap hari, dan tiba di Savatthi pada akhir bulan. Kemudian Citta pergi bersama lima ratus pengiringnya menuju Vihara Jetavana. Ketika ia sedang memberi penghormatan kepada Sang Buddha, bunga-bunga berjatuhan dengan menakjubkan dari atas seperti hujan. Citta tinggal di vihara itu selama sebulan penuh, mempersembahkan dana makanan kepada Sang Buddha dan para bhikkhu, serta memberi makanan kepada rombongan yang berjumlah tiga ribu orang. Setiap kali, dewa-dewa mengisi kembali persediaan makanan dan persembahan lainnya.

Pada malam hari sebelum perjalanan pulang, Citta meletakkan semua yang telah dibawanya di ruangan-ruangan vihara sebagai persembahan kepada Sang Buddha. Kemudian dewa-dewa mengisi kembali kereta-kereta yang kosong itu dengan berbagai macam barang tak ternilai harganya. Y.A Ananda, melihat bagaimana kekayaan Citta diisi kembali, bertanya kepada Sang Buddha, "Bhante apakah hanya bila Citta datang kepada Bhante saja ia akan diberkahi dengan semua kekayaan ini? Apakah ia diberkahi dengan hal yang sama bila ia pergi ke lain tempat?" Sang Buddha menjawab, "Ananda, siswa ini lengkap memiliki keyakinan dan kemurahan hati; ia juga bersusila, dan nama baiknya menyebar jauh dan luas. Orang seperti ini pasti akan dihormati dan dihujani dengan kekayaan kemanapun ia pergi."

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair berikut :

"Saddho sīlena sampanno yasobhogasamappito
yaṃ yaṃ padesaṃ bhajati tattha tatth’ eva pūjito."

Ia yang memiliki keyakinan dan sila yang sempurna,
yang memiliki nama harum dan kekayaan, akan dihormati kemanapun ia pergi. 

(302) Kisah Seorang Bhikkhu dari Negeri Kaum Vajji

Dhammapada 

BAB XXI. PAKINNAKA VAGGA - Bunga Rampai

(302)Sungguh sukar untuk menempuh kehidupan tanpa rumah (Pabbajja); sungguh sukar untuk bergembira dalam menempuh kehidupan tanpa rumah. Kehidupan rumah tangga adalah sukar dan menyakitkan. Tinggal bersama mereka yang tidak sesuai sungguh menyakitkan. Hidup mengembara dalam proses tumimbal lahir (Samsara) juga menyakitkan. Karena itu janganlah menjadi pengembara (dalam samsara), atau menjadi pengejar penderitaan.


Dhammapada Atthakatha :   

(302) Kisah Seorang Bhikkhu dari Negeri Kaum Vajji

Pada malam bulan purnama di bulan Kattika, penduduk Vesali merayakan festival perbintangan (nakkhatta) secara besar-besaran. Seluruh kota bersinar, dan ada banyak hiburan, dengan nyanyian, tarian, dll. Ketika itu ada seorang bhikkhu yang sedang melihat ke arah kota, sambil berdiri sendiri di vihara. Bhikkhu itu merasa kesepian dan tidak puas dengan keadaannya. Perlahan, ia bergumam pada dirinya sendiri, "Tidak ada seorangpun yang keadaannya lebih buruk dariku". Saat itu juga makhluk halus penjaga hutan menghampirinya dan berkata, "Makhluk-makhluk di alam neraka (niraya) iri hati terhadap keadaan makhluk-makhluk di alam dewa; demikian pula orang-orang iri hati dengan keadaan mereka yang hidup sendiri di dalam hutan." Mendengar kata-kata ini, bhikkhu tersebut menyadari kebenaran kata-kata itu dan ia menyesal bahwa ia berpikir sedemikian sempit terhadap keadaan seorang bhikkhu.

Pagi-pagi buta pada keesokan harinya, bhikkhu tersebut pergi menghadap Sang Buddha dan melaporkan kejadian itu. Dalam jawaban Beliau, Sang Buddha menceritakan kepadanya tentang kesulitan kehidupan semua makhluk.

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair berikut :

"Duppabbajjaṃ durabhiramaṃ durāvāsā gharā dukhā
dukkho ‘samānasaṃvāso, dukkhānupatit’ addhagū
tasmā na c’ addhagū siyā na ca dukkhānupatito siyā."

Sungguh sukar untuk menempuh kehidupan tanpa rumah (Pabbajja);
sungguh sukar untuk bergembira dalam menempuh kehidupan tanpa rumah.
Kehidupan rumah tangga adalah sukar dan menyakitkan.
Tinggal bersama mereka yang tidak sesuai sungguh menyakitkan.
Hidup mengembara dalam proses tumimbal lahir (Samsara) juga menyakitkan.
Karena itu janganlah menjadi pengembara (dalam samsara),
atau menjadi pengejar penderitaan.

Bhikkhu itu mencapai tingkat kesucian arahat, setelah khotbah Dhamma berakhir.

(296-301) Kisah Anak Laki-laki Penebang Kayu

Dhammapada 

  • BAB XXI. PAKINNAKA VAGGA - Bunga Rampai

    (296) Para siswa Gotama telah bangun dengan baik dan selalu sadar, sepanjang siang dan malam mereka selalu merenungkan sifat-sifat mulia Sang Buddha dengan penuh kesadaran. 

    (297) Para siswa Gotama telah bangun dengan baik dan selalu sadar, sepanjang siang dan malam mereka selalu merenungkan sifat-sifat mulia Dhamma dengan penuh kesadaran. 

    (298) Para siswa Gotama telah bangun dengan baik dan selalu sadar, sepanjang siang dan malam mereka selalu merenungkan sifat-sifat mulia Sangha dengan penuh kesadaran. 

    (299) Para siswa Gotama telah bangun dengan baik dan selalu sadar, sepanjang siang dan malam mereka selalu merenungkan sifat-sifat badan jasmani dengan penuh kesadaran. 

    (300) Para siswa Gotama telah bangun dengan baik dan selalu sadar, sepanjang siang dan malam mereka bergembira dalam keadaan bebas dari kekejaman. 

    (301) Para siswa Gotama telah bangun dengan baik dan selalu sadar, sepanjang siang dan malam mereka bergembira dalam ketentraman samadhi.


    Dhammapada Atthakatha :   

    (296-301) Kisah Anak Laki-laki Penebang Kayu

    Suatu ketika di Rajagaha, seorang penebang kayu pergi ke dalam hutan dengan anak laki-lakinya untuk mencari kayu. Waktu kembali ke rumah pada sore hari, mereka berhenti dekat suatu pemakaman untuk makan. Mereka juga melepaskan kuk dari dua lembu jantannya sehingga lembu-lembu bisa merumput di sekitar tempat itu. Tetapi kedua lembu jantan pergi tanpa mereka sadari. Segera setelah mereka sadar bahwa dua ekor lembunya telah hilang, penebang kayu pergi mencarinya, meninggalkan anaknya dengan kereta berisi kayu bakar. Sang ayah memasuki kota, mencari lembunya. Ketika ia kembali pada anaknya, ternyata ia sudah terlambat, gerbang kota sudah ditutup. Karena itu anak laki-lakinya terpaksa tidur sendiri di bawah kereta.

    Anak laki-laki penebang kayu itu, meskipun usianya muda, selalu penuh kesadaran dan mempunyai kebiasaan merenungkan sifat-sifat mulia Sang Buddha.

    Malam itu dua yakkha datang untuk menakut-nakuti dan mencelakainya. Ketika salah satu yakkha menarik kaki anak laki-laki itu, ia berteriak, "Saya menghormat kepada Sang Buddha!" (Namo Buddhassa).

    Mendengar kata-kata dari anak itu, yakkha-yakkha menjadi ketakutan dan juga merasa harus melindungi anak itu. Maka salah satu dari kedua yakkha itu tetap berada di dekat anak itu, menjaganya dari semua bahaya. Yakkha lainnya pergi ke istana raja dan membawa nampan berisi makanan Raja Bimbisara. Kedua yakkha memberi makan kepada anak itu bagaikan anaknya sendiri. Di istana raja, yakkha meninggalkan pesan tertulis perihal nampan makanan istana, dan pesan ini hanya dapat terlihat oleh sang Raja.

    Pada pagi hari, pelayan Raja menemukan bahwa nampan makanan istana telah hilang, mereka sangat bersusah hati dan ketakutan. Raja menemukan pesan yang ditinggalkan oleh yakkha dan memberi tahu para pelayan di mana harus mencari nampan itu. Mereka menemukan nampan makanan istana di antara kayu bakar di dalam kereta. Mereka juga menemukan anak laki-laki yang masih tidur di bawah kereta. Ketika ditanya, anak itu menjawab bahwa orangtuanya datang kepadanya untuk memberi makan pada malam hari dan ia tidur pulas tanpa takut setelah memakan makanannya. Anak itu hanya mengetahui sampai di situ, tidak lebih.

    Raja memanggil orang tua anak itu, dan membawa anak itu beserta orang tuanya menghadap Sang Buddha. Raja pada waktu itu telah mendengar bahwa anak tersebut selalu penuh perhatian merenungkan sifat-sifat mulia Sang Buddha dan juga ia telah meneriakkan “Namo Buddhassa”, ketika yakkha menarik kakinya di malam hari.

    Raja bertanya kepada Sang Buddha, "Apakah penuh perhatian terhadap sifat-sifat mulia Sang Buddha adalah satu-satunya Dhamma yang dapat memberi perlindungan kepada seseorang terhadap kemalangan dan mara bahaya, ataukah penuh perhatian terhadap sifat-sifat mulia Dhamma sama manfaat dan kuatnya?"

    Sang Buddha menanggapi, "O Raja, siswaKu! Terdapat enam hal, apabila penuh perhatian terhadapnya akan merupakan perlindungan yang baik mengatasi kemalangan dan mara-bahaya."

    Kemudian Sang Buddha membabarkan syair berikut :

    "Suppabuddhaṃ pabujjhanti sadā Gotamasāvakā
    yesaṃ divā ca ratto ca niccaṃ Buddhagatā sati.

    suppabuddhaṃ pabujjhanti sadā Gotamasāvakā
    yesaṃ divā ca ratto ca niccaṃ Dhammagatā sati.

    suppabuddhaṃ pabujjhanti sadā Gotamasāvakā
    yesaṃ divā ca ratto ca niccaṃ Saṃghagatā sati

    suppabuddhaṃ pabujjhanti sadā Gotamasāvakā
    yesaṃ divā ca ratto ca niccaṃ kayagatā sati

    suppabuddhaṃ pabujjhanti sadā Gotamasāvakā
    yesaṃ divā ca ratto ca niccaṃ ahiṃsāya rato mano.

    suppabuddhaṃ pabujjhanti sadā Gotamasāvakā
    yesaṃ divā ca ratto ca niccaṃ bhāvanāya rato mano"

    Para siswa Gotama telah bangun dengan baik dan selalu sadar, sepanjang siang dan malam
    mereka selalu merenungkan sifat-sifat mulia Sang Buddha dengan penuh kesadaran.

    Para siswa Gotama telah bangun dengan baik dan selalu sadar, sepanjang siang dan malam
    mereka selalu merenungkan sifat-sifat mulia Dhamma dengan penuh kesadaran.

    Para siswa Gotama telah bangun dengan baik dan selalu sadar, sepanjang siang dan malam
    mereka selalu merenungkan sifat-sifat mulia Sangha dengan penuh kesadaran.

    Para siswa Gotama telah bangun dengan baik dan selalu sadar, sepanjang siang dan malam
    mereka selalu merenungkan sifat-sifat badan jasmani dengan penuh kesadaran.

    Para siswa Gotama telah bangun dengan baik dan selalu sadar, sepanjang siang dan malam
    mereka bergembira dalam keadaan bebas dari kekejaman.

    Para siswa Gotama telah bangun dengan baik dan selalu sadar, sepanjang siang dan malam
    mereka bergembira dalam ketentraman samadhi.


    Pada saat khotbah Dhamma berakhir, anak itu beserta kedua orang tuanya mencapai tingkat kesucian sotapatti. Belakangan, mereka bergabung dalam Pasamuan Bhikkhu (Sangha) dan akhirnya mencapai tingkat kesucian arahat.


    ---------------
    Notes :

    Perenungan terhadap Buddha (Buddhanussati) biasanya selalu dibaca sewaktu kebaktian di vihara. Syairnya sebagai berikut.

    Itipi so Bhagavā; Arahaṃ Sammāsambuddho
    Vijjācaraṇa sampanno
    Sugato lokavidū
    Anuttaro purisadammasārathi
    Satthā devamanussānaṃ
    Buddho Bhagavā'ti.

    Terjemahannya berikut ini :

    Demikianlah sesungguhnya Sang Bhagavā:
    Yang Maha Suci, Yang Telah Mencapai Penerangan Sempurna
    Yang Sempurna dalam pengetahuan dan tindak tanduknya
    Yang berbahagia, Pengenal semua alam.
    Pembimbing umat manusia yang tiada taranya
    Guru para dewa dan manusia.
    Seorang Buddha, Junjungan Yang Mulia.

    Kebanyakan umat hapal paritta jika sedang kebaktian bersama di vihara, tetapi kurang mengerti atau kurang ingat artinya karena merasa bahasa Pali sulit. Sebenarnya kata-kata bahasa Pali banyak yang mirip dengan bahasa Indonesia, hanya mungkin kita tidak menyadarinya.
    Berikut ini sekedar ‘jembatan keledai’ agar mempermudah untuk mengingat dan mengerti artinya.

    Araham -> Arahat
    Vijja = Vidya = pengetahuan. Carano -> cara ->cara bertingkah laku. Sampanno = sempurna.
    Sugato = berbahagia -> suga~> surga ->alam bahagia. Loka = alam.
    Anuttaro = tidak dapat diutarakan -> uttaro =diutarakan, anuttaro -> tiada taranya.
    Sattha = guru. Deva = dewa. Manussa = manusia.
    Bhagava = junjungan, yang mulia.

    Jika tidak dapat mengingat Buddha, masih bisa mencoba merenungkan Dhamma (Dhammanussati), jika masih tak bisa coba renungkan sifat-sifat Sangha (Sanghanussati).
    Gabungan ketiga perenungan ini terdapat dalam Dhajagga Sutta/Dhajagga Paritta, biasanya digunakan untuk perlindungan dan menghilangkan rasa takut.

(294-295) Kisah Bhaddiya Thera yang Pendek

Dhammapada 

  • BAB XXI. PAKINNAKA VAGGA - Bunga Rampai

    (294)Setelah membantai ibu (nafsu keinginan) dan ayah (kesombongan), serta dua orang ksatria (dua pandangan ekstrim berkenaan dengan kekekalan dan kemusnahan); dan setelah menghancurkan negara (pintu-pintu indria) bersama dengan para menterinya (kemelekatan), maka seorang brahmana akan berjalan pergi tanpa kesedihan. 

    (295)Setelah membantai ibu (nafsu keinginan) dan ayah (kesombongan), serta dua raja yang arif (dua pandangan ekstrim berkenaan dengan kekekalan dan kemusnahan); dan setelah menghancurkan lima jalan yang penuh bahaya (lima rintangan batin), maka seorang brahmana akan berjalan pergi tanpa kesedihan. 

    Dhammapada Atthakatha :   

    (294-295) Kisah Bhaddiya Thera yang Pendek

    Ketika sedang tinggal di Vihara Jetavana, Sang Buddha mengutarakan syair-syair ini (294 dan 295) sehubungan denga Thera Bhaddiya yang juga dikenal dengan sebutan Lakundaka Bhaddiya karena tubuhnya yang pendek.

    Suatu ketika beberapa bhikkhu datang berkunjung dan memberi hormat kepada Sang Buddha di Vihara Jetavana. Ketika mereka bersama Sang Buddha, Lakundaka Bhaddiya kebetulan lewat tidak jauh dari mereka.

    Sang Buddha meminta mereka untuk memperhatikan Thera yang pendek itu dan berkata kepada mereka, "Para bhikkhu, lihatlah kepada Thera itu. Ia telah membunuh kedua ayah dan ibunya, dan setelah membunuh orang tuanya ia pergi tanpa penderitaan lagi."

    Para bhikkhu tidak dapat mengerti pernyataan yang telah diucapkan oleh Sang Buddha. Karena itu mereka memohon kepada Sang Buddha untuk menjelaskannya dan kemudian Beliau menjelaskan artinya.

    Dalam pernyataan di atas, Sang Buddha menunjuk kepada seorang Arahat, yang telah melenyapkan nafsu keinginan, kesombongan, pandangan salah, dan kemelekatan pada indria dan objek indria. Sang Buddha menyatakan hal itu dengan menggunakan gaya bahasa metafora. Istilah `ibu` dan `ayah` digunakan untuk menunjukan nafsu keinginan dan kesombongan. Kepercayaan/pandangan tentang keabadian (sassataditthi) dan kepercayaan/ pandangan tentang pemusnahan (ucchedaditthi) seperti halnya dua raja, kemelekatan seperti para menterinya, dan indria serta objek indria seperti halnya sebuah kerajaan.

    Setelah menjelaskan arti pernyataan itu kepada mereka, Sang Buddha membabarkan syair berikut ini :

    "Mātaraṃ pitaraṃ hantvā rājāno dve ca khattiye
    raṭṭhaṃ sānucaraṃ hantvā anīgho yāti brāhmaṇo.

    Mātaraṃ pitaraṃ hantvā rājāno dve ca sotthiye
    veyagghapañcamaṃ hantvā anīgho yāti brāhmaṇo”

    Setelah membantai ibu (nafsu keinginan) dan ayah (kesombongan),
    serta dua orang ksatria (dua pandangan ekstrim berkenaan dengan kekekalan dan kemusnahan);
    dan setelah menghancurkan negara (pintu-pintu indria) bersama dengan para menterinya (kemelekatan),
    maka seorang brahmana akan berjalan pergi tanpa kesedihan.

    Setelah membantai ibu (nafsu keinginan) dan ayah (kesombongan),
    serta dua raja yang arif (dua pandangan ekstrim berkenaan dengan kekekalan dan kemusnahan);
    dan setelah menghancurkan lima jalan yang penuh bahaya (lima rintangan batin),
    maka seorang brahmana akan berjalan pergi tanpa kesedihan.

    Para bhikkhu yang datang berkunjung mencapai tingkat kesucian arahat, setelah khotbah Dhamma itu berakhir.

    --------------------
    Notes :

    Mengapa nafsu keinginan dan kesombongan dianalogikan dengan ayah dan ibu? Karena nafsu keinginan dan kesombongan adalah penyebab dari kelahiran kembali.

    Karena banyak orang yang memiliki nama yang sama, maka di India jaman dulu mereka menambahkan nama lain/ciri-ciri khusus untuk membedakan orang-orang yang memiliki nama sama tersebut. Demikian pula Bhaddiya merupakan nama yang cukup pasaran. Dalam literature buddhist saja ada 7 Bhaddiya, dan diantara 7 Bhaddiya ini, ada 3 Bhaddiya Thera/bhikkhu; yaitu satu bhikkhu yang mencapai anagami, satu arahat, dan satu lagi arahat Lakundaka Bhaddiya ini. Lakundaka artinya pendek, atau kerdil (dwarf).

    Diantara murid-murid Sang Buddha, suara Lakundaka Bhaddiya paling lembut dan enak didengar.

    Karena bentuk tubuhnya yang pendek, Lakundaka Bhaddiya sering diganggu oleh bhikkhu-bhikkhu lainnya (lihat kisah ke 81). Nampaknya Sang Buddha sering harus memberitahukan kepada bhikkhu-bhikkhu/samanera puthujanna (yang belum mencapai kesucian) bahwa Lakundaka Bhaddiya Thera bukan samanera (kisah 260-261), bahwa sesungguhnya ia adalah orang yang hebat, walaupun badannya kecil tetapi besar kekuatannya, dan telah mencapai  arahat.

(292-293) Kisah Bhikkhu-Bhikkhu Baddiya

Dhammapada 

  • BAB XXI. PAKINNAKA VAGGA - Bunga Rampai

    (292)Orang yang melakukan yang seharusnya tak dilakukan dan tidak melakukan apa yang seharusnya dilakukan,maka kekotoran batin akan terus bertambah dalam diri orang yang sombong dan malas seperti itu. 

    (293)Mereka yang selalu giat melatih perenungan terhadap badan jasmani,tidak melakukan apa yang seharusnya tak dilakukan, dan melakukan apa yang seharusnya dilakukan,maka kekotoran-kekotoran batin akan lenyap dari diri mereka yang memiliki kesadaran dan pandangan terang seperti itu.


    Dhammapada Atthakatha :   

    (292-293) Kisah Bhikkhu-Bhikkhu Baddiya

    Suatu saat bhikkhu-bhikkhu, yang berdiam di Baddiya sibuk membuat sandal-sandal yang penuh hiasan berbagai macam alang-alang dan rumput. Ketika Sang Buddha diberitahu tentang hal ini, Beliau berkata, "Para bhikkhu, kamu seharusnya memasuki Persamuan Bhikkhu (Sangha) untuk mencapai Buah Kesucian Arahat (Arahatta Phala). Namun, kamu sekarang sedang berusaha keras hanya untuk membuat sandal dan menghiasinya."

    Kemudian Sang Buddha membabarkan syair berikut :

    "Yaṃ hi kiccaṃ apaviddhaṃ akiccaṃ pana kayirati
    unnaḷānaṃ pamattānaṃ tesaṃ vaddhanti āsavā.

    Yesañ ca susamāraddhā niccaṃ kāyagatā sati
    akiccan te na sevanti kicce sātaccakārino
    satānaṃ sampajānānaṃ atthaṃ gacchanti āsavā."

    Orang yang melakukan yang seharusnya tak dilakukan
    dan tidak melakukan apa yang seharusnya dilakukan,
    maka kekotoran batin akan terus bertambah
    dalam diri orang yang sombong dan malas seperti itu.

    Mereka yang selalu giat melatih perenungan terhadap badan jasmani,
    tidak melakukan apa yang seharusnya tak dilakukan dan melakukan apa yang seharusnya dilakukan,
    maka kekotoran-kekotoran batin akan lenyap dari diri mereka yang memiliki kesadaran dan pandangan terang seperti itu.

    Bhikkhu-bhikkhu mencapai tingkat kesucian arahat, setelah khotbah Dhamma itu berakhir.

(291) Kisah Wanita yang Memakan Habis Telur-telur dari Seekor Ayam

Dhammapada 

  • BAB XXI. PAKINNAKA VAGGA - Bunga Rampai

    (291)Barangsiapa menginginkan kebahagiaan bagi dirinya sendiri dengan menimbulkan penderitaan orang lain, maka ia tidak akan terbebas dari kebencian; ia akan terjerat dalam kebencian.


    Dhammapada Atthakatha :   

    (291) Kisah Wanita yang Memakan Habis Telur-telur dari Seekor Ayam

    Suatu ketika hiduplah seorang wanita di suatu desa dekat Savatthi. Ia mempunyai seekor ayam betina dalam rumahnya; setiap kali ayam itu bertelur, ia memakannya. Ayam itu sangat terluka hatinya dan marah serta bertekad membalas dendam kepada wanita tersebut, sehingga ayam itu membuat suatu keinginan agar dilahirkan sebagai makhluk dengan posisi yang dapat membunuh keturunan wanita itu. Tekad ayam itu terjadi, ia terlahir kembali menjadi seekor kucing, dan si wanita terlahir kembali sebagai seekor ayam betina di rumah yang sama. Kucing itu memakan habis telur-telur si ayam. Dalam kehidupan mereka berikutnya, ayam betina menjadi seekor harimau dan kucing menjadi seekor rusa. Harimau memakan rusa beserta keturunannya. Dengan demikian, permusuhan berlangsung terus selama lima ratus kali kehidupan kedua makhluk tersebut.

    Pada masa kehidupan Sang Buddha, salah satu dari mereka terlahir kembali sebagai seorang wanita dan yang satu lagi sebagai yakkhini*.

    Dalam suatu kesempatan, wanita tersebut dalam perjalanan kembali dari rumah orang tuanya menuju rumahnya sendiri dekat Savatthi. Suaminya dan anak laki-lakinya yang masih balita juga bersamanya. Ketika mereka sedang beristirahat dekat suatu kolam di tepi jalan, suaminya pergi untuk mandi di kolam tersebut. Pada saat itu si wanita melihat yakkhini itu dan mengenalinya sebagai musuh lamanya. Dengan membawa anaknya, ia melarikan diri menjauhi yakkhini itu, menuju Vihara Jetavana tempat Sang Buddha sedang membabarkan Dhamma. Ia meletakkan anaknya di kaki Sang Buddha.

    Yakkhini yang mengejar wanita itu tiba di pintu vihara, namun makhluk halus penjaga pintu gerbang vihara tidak mengijinkannya masuk. Ketika melihat hal itu Sang Buddha menyuruh Y.A. Ananda untuk membawa yakkhini itu kehadapan Beliau. Ketika yakkhini itu datang, Sang Buddha menegur wanita dan yakkhini itu, perihal rantai permusuhan yang panjang di antara mereka. Beliau mengatakan, "Jika kamu berdua tidak datang kepada-Ku hari ini, permusuhanmu akan berlangsung tanpa akhir. Permusuhan tidak dapat diredakan oleh permusuhan, permusuhan hanya dapat diredakan oleh cinta kasih."

    Kemudian Sang Buddha membabarkan syair berikut :

    "Paradukkhūpadhānena yo attano sukham icchati
    verasaṃsaggasaṃsaṭṭho verā so na pamuccati."

    Barangsiapa menginginkan kebahagiaan bagi dirinya sendiri
    dengan menimbulkan penderitaan orang lain,
    maka ia tidak akan terbebas dari kebencian;
    ia akan terjerat dalam kebencian.

    Pada saat khotbah Dhamma berakhir, yakkhini itu menyatakan berlindung dalam Tiga Permata, yaitu Buddha, Dhamma, dan Sangha; sedangkan wanita itu mencapai tingkat kesucian sotapatti.

    -------------------------
    Notes :
    * Yakkhini atau yakkhi = yakkha perempuan.
    Yakkha (Pali) = yaksha (Sanskrit), 夜叉 yè chā (Chinese), Yasha (Japanese), ba-lu (Burmese), gnod sbyin (Tibetan).

    Yakkha termasuk dalam kategori alam dewa Catummaharajika / alam 4 Raja Dewa (catur = 4, maharaja = raja besar)
    Yakkha bermacam-macam tabiatnya, ada yang berperangai buruk dan jahat dan suka mengganggu manusia, ada pula yang berperangai baik dan suka menolong manusia, bahkan mengabulkan permintaan. Untuk paritta perlindungan terhadap yakkha jahat kalau pergi ke hutan-hutan, bacalah Atanatiya Sutta / Atanatiya Paritta.
    Tidak semua yakkha merupakan pengikut Sang Buddha. Yakkha memiliki kemampuan gaib, seperti menyalin rupa, dll. Yakkha juga memiliki berbagai tingkat, ada yakkha penasehat raja, dll. Mereka menguasai/menjaga/tinggal di danau, sungai, pohon, dll.

    Yakkha-yakkha ini dipimpin oleh salah satu dari 4 Raja Dewa dari alam Catummaharajika, yaitu Raja Vessavana (Vaisravana/Kuvera).

(290) Kisah Perbuatan Lampau Sang Buddha

Dhammapada 

  • BAB XXI. PAKINNAKA VAGGA - Bunga Rampai

    (290)Apabila dengan melepaskan kebahagiaan yang lebih kecil orang dapat memperoleh kebahagiaan yang lebih besar,maka hendaknya orang bijaksana melepaskan kebahagiaan yang kecil itu, guna memperoleh kebahagiaan yang lebih besar.


    Dhammapada Atthakatha :   

    (290) Kisah Perbuatan Lampau Sang Buddha

    Suatu ketika, musibah kelaparan melanda kota Vesali, diawali dengan musim kering yang lama dan keras. Akibat kekeringan itu hampir semua panen gagal dan banyak orang meninggal dunia karena kelaparan. Hal ini diikuti oleh penyebaran wabah penyakit. Karena masyarakat tidak lagi mampu menangani pembuangan mayat-mayat, maka bau busuk di udara menarik perhatian mahkluk halus jahat. Penduduk Vesali menghadapi musibah kehancuran yang ditimbulkan oleh kelaparan, penyakit, dan juga kehadiran makhluk halus jahat. Dalam kesedihan dan penderitaannya, mereka mencoba mencari perlindungan. Mereka berpikir untuk mencari bantuan dari berbagai sumber, namun akhirnya mereka memutuskan untuk mengundang Sang Buddha.

    Serombongan utusan dipimpin oleh Mahali, seorang pangeran suku Licchavi, dan putra brahmana kepala dikirim ke Raja Bimbisara untuk memohon Sang Buddha berkenan melakukan kunjungan ke Vesali, dan menolong mereka yang sedang dalam musibah. Sang Buddha mengetahui bahwa kunjungan ini akan membawa manfaat bagi banyak orang, maka Beliau menyetujui untuk pergi ke Vesali.

    Sehubungan dengan itu, Raja Bimbisara memperbaiki jalan dari Rajagaha sampai ke tepi sungai Gangga. Ia juga melakukan persiapan-persiapan lain dan mendirikan tempat-tempat beristirahat khusus setiap jarak satu yojana.

    Ketika segala sesuatunya telah siap, Sang Buddha berangkat menuju ke Vesali bersama lima ratus bikkhu. Raja Bimbisara juga menyertai Sang Buddha. Pada hari ke lima mereka sampai di tepi sungai Gangga dan Raja Bimbisara mengirim kabar pada pangeran-pangeran Licchavi.

    Di tepi sungai seberang, pangeran-pangeran Licchavi telah memperbaiki jalan dari tepi sungai itu menuju ke kota Vesali dan telah membangun tempat-tempat beristirahat seperti yang dilakukan oleh Raja Bimbisara di sisi sungai wilayahnya. Sang Buddha pergi menuju Vesali dengan diiringi pangeran-pangeran Licchavi namun Raja Bimbisara tetap tinggal di tepi sungai wilayahnya.

    Segera setelah Sang Buddha mencapai tepi seberang sungai, hujan lebat turun dengan deras, sehingga membersihkan kota Vesali. Sang Buddha dipersilahkan beristirahat dalam rumah peristirahatan yang khusus dipersiapkan khusus untuk Beliau di pusat kota.

    Sakka, Raja para dewa, dengan para pengikutnya datang menghormat kepada Sang Buddha. Melihat kedatangan para dewa, para makhluk halus jahat melarikan diri.

    Pada malam itu jgua, Sang Buddha membabarkan Ratana Sutta (Khotbah Permata) dan meminta Y.A. Ananda untuk berjalan mengelilingi dinding kota yang berlapis tiga dengan para pangeran Licchavi sambil mengulang sutta tersebut.

    Y.A. Ananda melakukan apa yang diminta. Ketika syair-syair perlindungan (Paritta) diucapkan, banyak dari mereka yang sakit menjadi sembuh dan mengikuti Y.A. Ananda berjalan menuju tempat Sang Buddha berada.

    Sang Buddha membabarkan sutta yang sama dan mengulanginya selama tujuh hari. Pada akhir hari ketujuh segala sesuatunya di kota Vesali menjadi normal kembali. Para Pangeran Licchavi dan penduduk Vesali merasa terbebas dari musibah dan sangat bersukacita. Mereka juga sangat berterimakasih kepada Sang Buddha dan melakukan persembahan kepada-Nya dalam jumlah yang besar dan mewah. Mereka juga mengiringi Sang Buddha dalam perjalanan pulang sampai di tepi sungai Gangga di akhir hari ketiga.

    Saat tiba di tepi sungai, Raja Bimbisara menunggu Sang Buddha, demikian pula para dewa, brahma, dan raja para naga bersama rombongannya masing - masing. Mereka semua menghormat dan melakukan persembahan kepada Sang Buddha. Para dewa dan brahma datang menghormat dengan payung, bunga, dan lain-lain, dan melagukan syair pujian kepada Sang Buddha. Para naga datang dengan perahu yang terbuat dari emas, perak, dan rubi untuk mengundang Sang Buddha ke tempat kediaman para naga. Mereka juga menaburi permukaan air dengan lima ratus jenis teratai.

    Inilah satu di antara tiga kesempatan dalam hidup Sang Buddha, ketika para manusia, dewa, dan brahma datang bersama-sama untuk melakukan penghormatan kepada Beliau. Kesempatan pertama, ketika Sang Buddha menunjukkan kekuatan dan keagungan Beliau dengan keajaiban ganda; memancarkan cahaya api dan mengeluarkan air dari tubuh Beliau.
    Kedua, ketika Sang Buddha kembali dari alam dewa Tavatimsa setelah Beliau membabarkan Abidhamma di sana.

    Sang Buddha menerima undangan para naga, Beliau melakukan kunjungan ke tempat kediaman para naga diiringi oleh para bhikkhu. Sang Buddha dan rombongan pergi dengan lima ratus perahu yang dibawa para naga. Setelah berkunjung ke tempat kediaman para naga, Sang Buddha kembali ke Rajagaha diiringi raja Bimbisara. Mereka tiba di Rajagaha pada hari ke lima.

    Dua hari setelah kedatangan mereka di Rajagaha, ketika para bhikkhu sedang membicarakan tentang kehebatan dan keagungan yang mengagumkan selamai perjalanan dari dan ke Vesali, Sang Buddha menghampiri mereka.

    Setelah mengetahui pokok pembicaraan mereka, Sang Buddha berkata, "Para bhikkhu, bahwa Saya telah dihormati sedemikian tinggi oleh brahma, dewa, dan manusia dan bahwa mereka melakukan persembahan kepada-Ku dengan jumlah yang sedemikian besar dan mewah pada kesempatan ini bukanlah disebabkan oleh kekuatan yang sekarang Saya miliki. Itu hanyalah karena Saya telah melakukan beberapa perbuatan baik yang kecil dalam salah satu kehidupan yang lampau, sehingga Saya sekarang menikmati manfaat sedemikian besarnya." Kemudian Sang Buddha menjelaskan kisah salah satu dari kehidupan lampau Beliau, ketika Beliau menjadi seorang brahmana bernama Sankha.

    Suatu ketika ada seorang brahmana bernama Sankha yang hidup di kota Taxila. Ia mempunyai seorang putra bernama Susima. Ketika Susima berumur enam belas tahun, ia dikirim oleh ayahnya pada brahmana lain untuk belajar ilmu perbintangan. Gurunya mengajarkan semua yang seharusnya dipelajari, tetapi Susima tidak sepenuhnya puas. Karena itu, gurunya memerintahkan agar ia mendatangi para Paccekabuddha yang sedang berdiam di Isipatana. Susima pergi ke Isipatana, tetapi para Paccekabuddha mengatakan kepadanya bahwa ia harus menjadi seorang bhikkhu, dan diberi pelajaran bagaimana bertingkah laku sebagai seorang bhikkhu. Susima berlatih meditasi dengan rajin, ia segera memahami ''Empat kesunyataan Mulia'', mencapai Bodhinana, dan menjadi seorang Paccekabuddha. Tetapi sebagai akibat perbuatan lampaunya, Susima tidak berumur panjang, ia meninggal, mencapai parinibbana segera setelah itu.

    Sankha, ayah Susima, datang mencari anak laki-lakinya, tetapi ia hanya menemukan stupa tempat relik anak laki-lakinya disimpan. Brahmana itu menjadi sangat terpukul karena kehilangan anak laki-lakinya. Ia menghampiri stupa itu, membersihkan halaman, membersihkan rumput liar, kemudian ia menutup tanah tersebut dengan pasir dan memercikinya dengan air. Kemudian, ia pergi ke dalam hutan dekat daerah itu untuk mencari bunga-bunga liar dan menancapkannya di tanah basah tersebut. Dengan cara tersebut, ia mempersembahkan pelayanannya dan memberi penghormatan kepada Paccekabuddha yang dulu adalah putranya. Karena perbuatan baik yang dilakukan pada kehidupan lampaunya itu, maka Sang Buddha mendapat manfaat, bahwa Ia dilimpahi dengan persembahan mewah, Ia dihormati demikian tinggi, dan Ia memperoleh bakti demikian besar pada kesempatan khusus itu.

    Kemudian Sang Buddha membabarkan syair berikut :

    "Mattāsukhapariccāgā
    passe ce vipulaṃ sukhaṃ
    caje mattāsukhaṃ dhīro
    sampassaṃ vipulaṃ sukhaṃ."

    Apabila dengan melepaskan kebahagiaan yang lebih kecil
    orang dapat memperoleh kebahagiaan yang lebih besar,
    maka hendaknya orang bijaksana melepaskan kebahagiaan yang kecil itu,
    guna memperoleh kebahagiaan yang lebih besar.

(288-289) Kisah Patacara

Dhammapada 

  • BAB XX. MAGGA VAGGA - Jalan

    (288)Anak-anak tidak dapat melindungi, begitu juga ayah maupun sanak saudara. Bagi orang yang sedang menghadapi kematian, maka tidak ada sanak saudara yang dapat melindungi dirinya 

    (289)Setelah mengetahui kenyataan ini, maka orang berbudi dan bijaksana tak akan menunda waktu dalam menempuh jalan menuju Nibbana.


    Dhammapada Atthakatha :   

    (288-289) Kisah Patacara

    Patacara kehilangan suami dan dua putranya, sekaligus orang tua dan ketiga kakak laki-lakinya dalam waktu bersamaan. Ia menjadi hampir gila. Ketika ia mendekati Sang Buddha, Beliau berkata kepadanya, "Patacara, anak-anak tidak dapat merawatmu, bahkan meskipun mereka masih hidup, mereka tidak hadir untukmu. Orang bijaksana menjalankan moral (sila) dan menghancurkan rintangan pada jalan menuju nibbana."

    Kemudian Sang Buddha membabarkan syair berikut ini :

    "Na santi puttā tāṇāya na pitā na pi bandhavā
    antakenādhipannassa n’ atthi ñātīsu tāṇatā.

    Etam atthavasaṃ ñatvā paṇḍito sīlasaṃvuto
    nibbānagamanaṃ maggaṃ khippam eva visodhaye."

    Anak-anak tidak dapat melindungi,
    begitu juga ayah maupun sanak saudara.
    Bagi orang yang sedang menghadapi kematian,
    maka tidak ada sanak saudara
    yang dapat melindungi dirinya lagi.

    Setelah mengetahui kenyataan ini,
    maka orang berbudi dan bijaksana
    tak akan menunda waktu
    dalam menempuh jalan menuju Nibbana.

    Patacara mencapai tingkat kesucian sotapatti, setelah Khotbah Dhamma itu berakhir.

    *Kisah ini lebih lengkapnya ada pada kisah ke 113

(287) Kisah Kisagotami

Dhammapada 

BAB XX. MAGGA VAGGA - Jalan

(287)Orang yang pikirannya melekat pada anak-anak dan ternak peliharaannya, maka kematian akan menyeret dan menghanyutkannya, seperti banjir besar yang menghanyutkan sebuah desa yang tertidur.


Dhammapada Atthakatha :   

(287) Kisah Kisagotami

Kisagotami menghadap Sang Buddha karena ia dilanda kesedihan mendalam akibat kematian anak tunggalnya. Kepadanya, Sang Buddha mengatakan, "Kisagotami, kamu berpikir bahwa hanya kamu yang kehilangan anak. Kematian menimpa semua makhluk. Sebelum keinginan mereka terpenuhi, kematian telah menjemputnya."

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair berikut:

"Taṃ puttapasusammattaṃ byāsattamanasaṃ naraṃ
suttaṃ gāmaṃ mahogho va maccu ādāya gacchati."

Orang yang pikirannya melekat
pada anak-anak dan ternak peliharaannya,
maka kematian akan menyeret dan menghanyutkannya,
seperti banjir besar yang menghanyutkan sebuah desa yang tertidur.

Kisagotami mencapai tingkat kesucian sotapatti setelah khotbah Dhamma itu berakhir.

----------------------
*Kisah ini juga terdapat pada Syair 114

(286) Kisah Mahadhana,Seorang Saudagar

Dhammapada 

  • BAB XX. MAGGA VAGGA - Jalan

    (286)Di sini aku akan berdiam pada musim hujan, di sini aku akan berdiam selama musim gugur dan musim panas. Demikianlah pikiran orang bodoh yang tidak menyadari bahaya (kematian). 

    Dhammapada Atthakatha :   

    (286) Kisah Mahadhana, Seorang Saudagar

    Suatu ketika, seorang saudagar dari Banasari akan menghadiri festifal di Savatthi dengan membawa 500 kereta yang penuh dengan kain dan barang dagangan lainnya. Ketika tiba di tepi sebuah sungai dekat Savatthi, air sungai tersebut sedang meluap. Ia menunda perjalanannya selama tujuh hari karena hujan yang lebat dan air sungai yang tidak kunjung surut. Karenanya, ia menjadi terlambat mengikuti festival, sehingga tidak berguna lagi baginya untuk menyeberangi sungai itu.

    Karena datang dari jauh, dia tidak ingin kembali ke rumah dengan barang dagangan yang masih utuh. Akhirnya ia memutuskan untuk menghabiskan musim hujan, musim dingin, dan musim panas di tempat itu, dan mengajak semua pelayannya untuk turut serta.

    Saat Sang Buddha pergi berpindapatta, Beliau mengetahui keputusan itu dan tersenyum. Ananda bertanya, mengapa Sang Buddha tersenyum dan Sang Buddha pun menjawab, "Ananda, tahukah kau pedagang itu? Dia berpikir bahwa dia dapat tinggal di sini dan menjual semua barangnya sepanjang tahun. Dia tidak menyadari bahwa dia akan meninggal dunia di sini dalam waktu tujuh hari. Apa yang harus dilakukan hendaknya dilakukan hari ini. Siapa dapat mengetahui seseorang akan meninggal dunia esok? Kita tidak dapat berkompromi waktu dengan Raja Kematian. Bagi orang yang selalu waspada tiap pagi dan malam, yang tidak terganggu oleh kekotoran batin, dan penuh semangat, walaupun hidup hanya satu malam saja tetapi hidupnya itu adalah yang dijalani dengan baik."

    Kemudian Sang Buddha menyuruh Ananda untuk mendatangi saudagar Mahadhana. Ananda menjelaskan kepada Mahadhana bahwa waktu terus berlalu dan bahwa ia harus meninggalkan kelalaian dan menjadi waspada. Memikirkan tentang kematian yang akan menyambutnya, Mahadhana menjadi sadar dan merasa takut. Sehingga, selama tujuh hari ia mengunjungi Sang Buddha dan para bhikkhu untuk berdana makanan. Pada hari ke tujuh Sang Buddha berkhotbah tentang penghargaan dana (anumodana).

    Kemudian Sang Buddha membabarkan syair berikut :

    "Idha vassaṃ vasissāmi idha hemantagimhisu
    iti bālo vicinteti antarāyaṃ na bujjhati."

    Di sini aku akan berdiam pada musim hujan,
    di sini aku akan berdiam selama musim gugur dan musim panas.
    Demikianlah pikiran orang bodoh
    yang tidak menyadari bahaya (kematian).

    Pada saat khotbah Dhamma itu berakhir, saudagar Mahadhana mencapai tingkat kesucian sotapatti. Ia mengantar Sang Buddha sampai jarak tertentu dan kembali ke tempatnya. Saat perjalanan pulang, ia terserang sakit kepala dan akhirnya meninggal dunia. Mahadhana terlahir kembali di alam dewa Tusita.