Sabtu, 27 Juli 2013

(141) Kisah Bhikkhu Bahubhandika

Dhammapada

  • BAB X. DANDA VAGGA – Hukuman

    (141)Bukan dengan cara telanjang, rambut dijalin, badan kotor berlumpur, berpuasa, berbaring di tanah, melumuri tubuh dengan debu, ataupun berjongkok di atas tumit,seseorang yang belum bebas dari keragu-raguan dapat menyucikan diri. 

    Dhammapada Atthakatha :  

    (141) Kisah Bhikkhu Bahubhandika

    Seorang pria yang kaya di Savatthi setelah kematian istrinya mengambil keputusan untuk menjadi seorang bhikkhu. Sebelum dia menjadi bhikkhu, dia mendirikan sebuah vihara, termasuk dapur dan ruang penyimpanan. Dia juga membawa perabotan, beras, minyak, mentega, dan berbagai kebutuhan sehari-harinya. Apa pun yang dia kehendaki, pelayan-pelayan akan memenuhinya. Jadi meskipun dia hidup sebagai bhikkhu, dia hidup dengan berlebihan dan memiliki berbagai macam harta sehingga beliau dikenal dengan nama "Bahubhandika".

    Suatu hari bhikkhu-bhikkhu lain membawanya menghadap Sang Buddha dan kemudian menceritakan kehidupan Bhikkhu Bahubhandikka yang penuh dengan kemewahan sebagai mana layaknya kehidupan orang kaya.

    Sang Buddha mengatakan kepada Bahubhandika, "Anakku, Aku mengajarkan tentang kehidupan yang sederhana, mengapa engkau membawa begitu banyak harta milikmu?"

    Ketika mendapat teguran sesedikit ini, dia marah dan berkata, "Bhante, aku akan hidup sebagai mana kehendak-Mu." Kemudian dia melepas dan membuang jubah atasnya.

    Melihat hal tersebut, Sang Buddha mengatakan kepada Bahubhandika, "Anakku, pada kehidupan yang lampau engkau adalah raksasa, meskipun sebagai raksasa tetapi engkau memiliki rasa malu berbuat jahat (hiri) dan rasa takut berbuat jahat (otappa). Akan tetapi sekarang engkau menjadi bhikkhu dalam ajaran-Ku, mengapa engkau membuang semua rasa malu dan takut berbuat jahat itu?"

    Mendengar kata-kata itu, dia menjadi sadar akan kesalahannya. Hiri dan ottapanya muncul kembali. Ia memberi hormat kepada Sang Buddha serta meminta maaf.

    Kemudian Sang Buddha berkata, "Berdiri di situ tanpa jubah atas adalah tidak pantas, membuang jubah tidak membuat engkau menjadi bhikkhu yang sederhana, seorang bhikkhu juga harus membuang keragu-raguannya."

    Kemudian Sang Buddha membabarkan syair berikut:

    "Na naggacariyā na jaṭā na paṃkā
    nānāsakā thaṇḍilasāyikā vā
    rajo va jallaṃ ukkuṭikappadhānaṃ
    sodhenti maccaṃ avitiṇṇakaṃkhaṃ."

    Bukan dengan cara telanjang, rambut dijalin, badan kotor berlumpur, berpuasa, berbaring di tanah, melumuri tubuh dengan debu, ataupun berjongkok di atas tumit,
    seseorang yang belum bebas dari keragu-raguan dapat menyucikan diri.*

    Banyak orang pada waktu itu mencapai tingkat kesucian sotapatti setelah khotbah Dhamma berakhir.


    -------
    Notes:

    *Cara-cara (telanjang, rambut dijalin dll) diatas merujuk kepada praktek-praktek yang tidak bermanfaat yang dilakukan oleh banyak petapa-petapa di jaman itu. Melakukan itu semua tidaklah membawa kepada kesucian, sama seperti tindakan membuang jubah seperti yang dilakukan oleh Bahubandhika. Yang harus dibuang adalah keragu-raguan.
    Seperti yang kita ketahui salah satu dari 3 belenggu yang harus dipatahkan seorang sotapatti, adalah keragu-raguan. (lihat notes kisah 122).

    Sang Buddha menyebut hiri dan ottappa sebagai dua pelindung dunia.
    Hiri adalah rasa malu berbuat jahat/tidak baik. Ottappa adalah rasa takut berbuat jahat dan akibat perbuatan jahat.
    Jika banyak orang tidak memiliki hiri dan ottappa, dunia menjadi kacau dan tiada rasa tentram, kejahatan makin marak.

    Hiri yang dimaksud disini adalah malu berbuat yang tidak baik. Jangan salah mengartikan dan menjadikannya negatif. Malulah berbuat yang tidak baik, tetapi bukan malu berbicara di muka umum, malu bertanya, malu karena tidak memakai barang-barang bermerek, dll.

    Ottapa bukan berarti menjadi pengecut dan penakut. Sebenarnya terjemahan menggunakan kata ‘takut’ agak tidak tepat, tetapi memang tidak ada kata lain yang bisa digunakan. Terjemahan bhs Inggris ada yang menggunakan ‘fear’, ‘concern’, tetapi itupun masih kurang tepat. Jadi memang sebaiknya tetap memakai kata ottappa.

    Seseorang yang takut akan panasnya api, tidak akan menyentuh api yang menyala, tetapi laron yang tidak menyadari bahayanya api, tertarik kepada sinar terang api itu dan akan terbakar. Hal ini sama seperti orang yang tidak memiliki ottappa, ia melakukan kejahatan dan akan menderita akibat perbuatannya itu.

    Kita harus memelihara dan mengembangkan hiri dan ottappa ini, jangan mengacuhkan hiri dan ottapa. Pada saat pertama kali seseorang melakukan kejahatan, pasti ada rasa hiri dan ottappa muncul. Tetapi jika kemudian hiri dan ottappa itu ditekan, dibuang, atau diabaikan, maka lama-kelamaan hatinya makin kebal dan kejahatan yang dibuat akan bertambah banyak.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar