Minggu, 28 Juli 2013

(153-154) Kisah Mengenai "Kata-kata Kebahagiaan Sang Buddha"

Dhammapada

  • BAB XI. JARA VAGGA – Usia Tua

    (153)Melalui banyak kelahiran dalam samsara, aku mencari pembuat rumah (tubuh) ini yang belum dapat ditemukan (karena belum mencapai Penerangan Sempurna). Kelahiran yang berulang-ulang sungguh adalah penderitaan.

    (154)O, pembuat rumah (nafsu keinginan/tanha)! Kau telah, engkau telah terlihat, engkau tak dapat membangun rumah lagi. Seluruh kerangkamu (noda batin) telah runtuh, atapmu (kebodohan) telah hancur. Batinku telah mencapai  mencapai keadaan tak bersyarat (Nibbana), tecapailah akhir daripada nafsu keinginan.


    Dhammapada Atthakatha :     

    (153-154) Kisah Mengenai "Kata-kata Kebahagiaan Sang Buddha"

    Dua syair ini (syair 153 dan 154), adalah ungkapan mendalam dan kebahagiaan agung yang dirasakan Sang Buddha pada saat Beliau mencapai Penerangan Sempurna. Syair-syair ini diulang di Vihara Jetavana atas permintaan dari Yang Ariya Ananda.

    Pangeran Siddhatta, dari keluarga Gotama, anak dari Raja Suddhodana dan Ratu Maya dari kerajaan suku Sakya, meninggalkan keduniawian pada usia 29 tahun dan menjadi pertapa untuk mencari Kebenaran (Dhamma). Selama 6 tahun Beliau mengembara di lembah Gangga, menemui pemimpin-pemimpin agama yang terkenal untuk belajar doktrin dan metode mereka. Beliau hidup sangat sederhana dan secara ketat menjalani peraturan pertapaan yang keras; tetapi Beliau mendapatkan bahwa semua latihan itu tidak berdasar dan tidak bermanfaat.

    Beliau memutuskan untuk menemukan Kebenaran dengan caranya sendiri. Dengan menghindari dua jalan ekstrim (pemuasan kenikmatan yang berlebihan dan penyiksaan diri), Beliau menemukan ‘Jalan Tengah’ yang membawa menuju kebebasan mutlak, Nibbana.

    Jalan Tengah (Majjhimapatipada) ini adalah Jalan Mulia Berfaktor Delapan, yaitu : Pengertian Benar, Pikiran Benar, Perkataan Benar, Perbuatan Benar, Mata Pencarian Benar, Daya Upaya Benar, Kesadaran Benar, dan Konsentrasi Benar.

    Pada suatu malam duduk di bawah pohon Bodhi, di tepi sungai Neranjara, Pertapa Siddhattha Gotama mencapai `Penerangan Sempurna` (Bodhi-nana atau Sabbannuta-nana) pada usia 35 tahun.

    Pada saat malam jaga pertama, Siddhattha mencapai kemampuan batin mengetahui kelahiran-kelahirannya-Nya sendiri yang lampau (Pubbenivasanussati-nana).
    Pada saat malam jaga kedua, Beliau mencapai kemampuan batin pengetahuan penglihatan tembus (Dibbacakkhu-nana).
    Kemudian pada malam jaga ketiga, Beliau memahami hukum sebab akibat yang saling bergantungan (Paticcasamuppada) dalam hal kemunculan (Anuloma) demikian pula pengakhiran (Patiloma).

    Menjelang fajar, Siddhattha Gotama dengan kemampuan akal-budinya, dan pandangannya yang terang mampu menembus pengetahuan `Empat Kebenaran Mulia`.

    Empat Kebenaran Mulia adalah :
    1. kebenaran mulia tentang penderitaan (Dukkha Ariya Sacca),
    2. kebenaran mulia tentang asal mula penderitaan (Dukkha Samudaya Ariya Sacca),
    3. kebenaran mulia tentang akhir penderitaan (Dukkha Nirodha Ariya Sacca), dan
    4. kebenaran mulia tentang jalan menuju akhir penderitaan (Dukkha Nirodha Gamini Patipada Ariya Sacca).

    Tercapai juga dalam diri Beliau, dengan segala kemurniannya, pengetahuan tentang keberadaan `kebenaran mulia` (Sacca-nana), pengetahuan tentang perlakuan yang diharapkan terhadap `kebenaran mulia` itu (Kicca-nana) dan pengetahuan tentang telah dipenuhinya perlakuan yang diharapkan terhadap `kebenaran mulia` itu (Kata-nana), dengan demikian Beliau mencapai `Sabbannuta-nana` (Bodhi-nana) dari seorang Buddha. Sejak saat itu Beliau dikenal sebagai Buddha Gotama.

    Dalam hal ini, perlu dicatat bahwa ketika Empat Kebenaran Mulia, dengan tiga aspek tersebut di atas (jadi keseluruhan ada 12 cara) telah benar-benar jelas bagi Beliau, barulah Sang Buddha mengumumkan kepada umat manusia, para dewa dan para brahma, bahwa beliau telah mencapai Penerangan Sempurna, dan menjadi seorang Buddha.

    Pada saat pencapaian tingkat ke-Buddha-an, Beliau membabarkan syair berikut ini:

    “Anekajātisaṃsaraṃ sandhāvissaṃ anibbisaṃ
    gahakārakaṃ gavesanto, dukkhā jāti punappunaṃ

    Gahakāraka diṭṭho si puna gehaṃ na kāhasi,
    sabbā ete phāsukā bhaggā gahakūṭaṃ visaṃkhitaṃ,
    visaṃkhāragataṃ cittaṃ taṇhānaṃ khayam ajjhagā.”

    Melalui banyak kelahiran dalam samsara, aku mencari pembuat rumah (tubuh) ini yang belum dapat ditemukan (karena belum mencapai Penerangan Sempurna). Kelahiran yang berulang-ulang sungguh adalah penderitaan.

    O, pembuat rumah (nafsu keinginan/tanha)! Engkau telah terlihat, engkau tak dapat membangun rumah lagi.
    Seluruh kerangkamu (noda batin) telah runtuh, atapmu (kebodohan) telah hancur.
    Batinku telah mencapai  mencapai keadaan tak bersyarat (Nibbana), tercapailah akhir daripada nafsu keinginan.

    -------------
    Notes :
    Dalam Dhammacakkappavattana Sutta, Sang Buddha memutar roda dhamma pertama kalinya, yaitu khotbah kepada 5 orang pertapa, beliau menjelaskan mengenai doktrin utama yaitu 4 Kebenaran Mulia, dan 8 Jalan Utama Beruas Delapan.

    Satu hal yang perlu diperhatikan baik-baik, dalam point kesatu, Kebenaran Mulia tentang Dukkha, Sang Buddha hanya menyatakan bahwa ada yang namanya Dukkha; yaitu lahir, sakit, tua, mati, kesedihan, berpisah dengan yang dicintai, dan berkumpul dengan yang tak disukai, tidak mendapat apa yang diinginkan, adalah dukkha.
    Sang Buddha tidak pernah mengatakan ‘hidup ini adalah dukkha’. Mohon tidak tergesa-gesa menarik kesimpulan yang keliru. Jangan sampai kita salah mengerti dan berpikir hidup ini adalah penderitaan, salah-salah nanti terbawa jadi depresi. Karena pemahaman yang tidak tepat inilah orang menganggap agama Buddha pesimis, padahal tidak benar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar