Selasa, 30 Juli 2013

(227-230) Kisah Atula Seorang Umat Awam

Dhammapada 

  • BAB XVII. KODDHA VAGGA - Kemarahan

    (227)O Atula, ini bukan hal baru, ini sudah sejak dahulu kala telah terjadi.Mereka mencela orang yang diam, mereka mencela orang yang banyak bicara,mereka juga mencela orang yang sedikit bicara.Tak ada seorangpun di dunia ini yang tak dicela. 

    (228)Tidak pada zaman dahulu, waktu yang akan datang ataupun waktu sekarang, dapat ditemukan seseorang yang selalu dicela maupun yang selalu dipuji.

    (229)Setelah memperhatikan secara seksama, orang bijaksana memuji ia yang menempuh kehidupan tanpa cela, pandai serta memiliki kebijaksanaan dan sila. 

    (230)Siapakah yang layak merendahkan orang tanpa cela seperti sepotong emas murni? Para dewa akan selalu memujinya, begitu pula para brahmana. 

    Dhammapada Atthakatha : 

    (227-230) Kisah Atula Seorang Umat Awam

    Suatu saat, Atula bersama dengan 500 orang temannya, mengunjungi Revata Thera, dengan harapan dapat mendengarkan Dhamma. Revata Thera yang sangat penyendiri seperti seekor singa, tidak mengatakan apapun pada mereka. Atula dan teman-temannya sangat tidak puas dan kemudian pergi menghadap Sariputta Thera. Saat Sariputta Thera mengetahui mengapa mereka datang ke hadapannya, beliau menjelaskan Abhidhamma secara mendalam. Apa yang dijelaskan Sariputta Thera juga bukanlah yang mereka harapkan, dan mereka mengeluh bahwa uraian Sariputta Thera panjang dan terlalu mendalam.

    Kemudian Atula dan rombongannya mendekati Ananda Thera. Ananda Thera menjelaskan pada mereka sedikit tentang inti dari ajaran Dhamma. Kali ini, mereka menilai bahwa penjelasan Ananda Thera terlalu singkat dan kurang lengkap.

    Akhirnya mereka menghadap Sang Buddha dan berkata kepada Beliau, "Bhante, kami datang untuk mendengarkan ajaran-Mu. Kami telah menemui beberapa guru sebelum kami datang kemari, tapi kami tidak puas terhadap mereka. Revata Thera tidak berkenan mengajar kami dan ia hanya berdiam diri. Penjelasan Sariputta Thera terlalu mendalam dan Dhamma yang beliau ajarkan terlalu sukar buat kami. Begitu pula Ananda Thera, beliau menjelaskan terlalu singkat dan kurang lengkap. Kami tidak menyukai apa yang mereka ajarkan."

    Kepada mereka, Sang Buddha berkata, "Murid-murid-Ku, mencela orang lain bukanlah hal yang baru. Tak satu pun orang di dunia ini yang tak pernah dicela; orang-orang akan mencela meskipun seorang raja atau bahkan seorang Buddha. Dicela atau dipuji oleh orang bodoh, tidaklah berarti. Seseorang akan benar-benar tercela hanya bila ia dicela oleh orang bijaksana, dan benar-benar terpuji hanya bila dipuji oleh orang bijaksana."

    Kemudian Sang buddha membabarkan syair berikut ini :

    "Porāṇam etaṃ Atula n’ etaṃ ajjatanām iva :
    nindanti tuṇhiṃ āsīnaṃ nindanti bahubhāniṇaṃ
    mitabhāṇinam pi nindanti, n’ atthi loke anindito.

    Na cāhu na ca bhavissati na c’etarahi vijjati
    ekantaṃ nindito poso ekantaṃ vā pasaṃsito.

    Yañ ce viññū pasaṃsanti anuvicca suve suve
    acchiddavuttiṃ medhāviṃ paññāsīlasamāhitaṃ.

    Nekkhaṃ jambonadasseva ko taṃ ninditum arahati,
    devā pi naṃ pasaṃsanti, Brahmunā pi pasaṃsito."

    O Atula, ini bukan hal baru, ini sudah sejak dahulu kala telah terjadi.
    Mereka mencela orang yang diam, mereka mencela orang yang banyak bicara,
    mereka juga mencela orang yang sedikit bicara.
    Tak ada seorangpun di dunia ini yang tak dicela.

    Tidak pada zaman dahulu, waktu yang akan datang ataupun waktu sekarang,
    dapat ditemukan seseorang yang selalu dicela maupun yang selalu dipuji.

    Setelah memperhatikan secara seksama,
    orang bijaksana memuji ia yang menempuh kehidupan tanpa cela,
    pandai serta memiliki kebijaksanaan dan sila.

    Siapakah yang layak merendahkan orang tanpa cela yang seperti sepotong emas murni?
    Para dewa akan selalu memujinya, begitu pula para brahmana.

    Atula dan teman-temannya mencapai tingkat kesucian sotapatti setelah khotbah Dhamma itu berakhir.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar