Rabu, 31 Juli 2013

(294-295) Kisah Bhaddiya Thera yang Pendek

Dhammapada 

  • BAB XXI. PAKINNAKA VAGGA - Bunga Rampai

    (294)Setelah membantai ibu (nafsu keinginan) dan ayah (kesombongan), serta dua orang ksatria (dua pandangan ekstrim berkenaan dengan kekekalan dan kemusnahan); dan setelah menghancurkan negara (pintu-pintu indria) bersama dengan para menterinya (kemelekatan), maka seorang brahmana akan berjalan pergi tanpa kesedihan. 

    (295)Setelah membantai ibu (nafsu keinginan) dan ayah (kesombongan), serta dua raja yang arif (dua pandangan ekstrim berkenaan dengan kekekalan dan kemusnahan); dan setelah menghancurkan lima jalan yang penuh bahaya (lima rintangan batin), maka seorang brahmana akan berjalan pergi tanpa kesedihan. 

    Dhammapada Atthakatha :   

    (294-295) Kisah Bhaddiya Thera yang Pendek

    Ketika sedang tinggal di Vihara Jetavana, Sang Buddha mengutarakan syair-syair ini (294 dan 295) sehubungan denga Thera Bhaddiya yang juga dikenal dengan sebutan Lakundaka Bhaddiya karena tubuhnya yang pendek.

    Suatu ketika beberapa bhikkhu datang berkunjung dan memberi hormat kepada Sang Buddha di Vihara Jetavana. Ketika mereka bersama Sang Buddha, Lakundaka Bhaddiya kebetulan lewat tidak jauh dari mereka.

    Sang Buddha meminta mereka untuk memperhatikan Thera yang pendek itu dan berkata kepada mereka, "Para bhikkhu, lihatlah kepada Thera itu. Ia telah membunuh kedua ayah dan ibunya, dan setelah membunuh orang tuanya ia pergi tanpa penderitaan lagi."

    Para bhikkhu tidak dapat mengerti pernyataan yang telah diucapkan oleh Sang Buddha. Karena itu mereka memohon kepada Sang Buddha untuk menjelaskannya dan kemudian Beliau menjelaskan artinya.

    Dalam pernyataan di atas, Sang Buddha menunjuk kepada seorang Arahat, yang telah melenyapkan nafsu keinginan, kesombongan, pandangan salah, dan kemelekatan pada indria dan objek indria. Sang Buddha menyatakan hal itu dengan menggunakan gaya bahasa metafora. Istilah `ibu` dan `ayah` digunakan untuk menunjukan nafsu keinginan dan kesombongan. Kepercayaan/pandangan tentang keabadian (sassataditthi) dan kepercayaan/ pandangan tentang pemusnahan (ucchedaditthi) seperti halnya dua raja, kemelekatan seperti para menterinya, dan indria serta objek indria seperti halnya sebuah kerajaan.

    Setelah menjelaskan arti pernyataan itu kepada mereka, Sang Buddha membabarkan syair berikut ini :

    "Mātaraṃ pitaraṃ hantvā rājāno dve ca khattiye
    raṭṭhaṃ sānucaraṃ hantvā anīgho yāti brāhmaṇo.

    Mātaraṃ pitaraṃ hantvā rājāno dve ca sotthiye
    veyagghapañcamaṃ hantvā anīgho yāti brāhmaṇo”

    Setelah membantai ibu (nafsu keinginan) dan ayah (kesombongan),
    serta dua orang ksatria (dua pandangan ekstrim berkenaan dengan kekekalan dan kemusnahan);
    dan setelah menghancurkan negara (pintu-pintu indria) bersama dengan para menterinya (kemelekatan),
    maka seorang brahmana akan berjalan pergi tanpa kesedihan.

    Setelah membantai ibu (nafsu keinginan) dan ayah (kesombongan),
    serta dua raja yang arif (dua pandangan ekstrim berkenaan dengan kekekalan dan kemusnahan);
    dan setelah menghancurkan lima jalan yang penuh bahaya (lima rintangan batin),
    maka seorang brahmana akan berjalan pergi tanpa kesedihan.

    Para bhikkhu yang datang berkunjung mencapai tingkat kesucian arahat, setelah khotbah Dhamma itu berakhir.

    --------------------
    Notes :

    Mengapa nafsu keinginan dan kesombongan dianalogikan dengan ayah dan ibu? Karena nafsu keinginan dan kesombongan adalah penyebab dari kelahiran kembali.

    Karena banyak orang yang memiliki nama yang sama, maka di India jaman dulu mereka menambahkan nama lain/ciri-ciri khusus untuk membedakan orang-orang yang memiliki nama sama tersebut. Demikian pula Bhaddiya merupakan nama yang cukup pasaran. Dalam literature buddhist saja ada 7 Bhaddiya, dan diantara 7 Bhaddiya ini, ada 3 Bhaddiya Thera/bhikkhu; yaitu satu bhikkhu yang mencapai anagami, satu arahat, dan satu lagi arahat Lakundaka Bhaddiya ini. Lakundaka artinya pendek, atau kerdil (dwarf).

    Diantara murid-murid Sang Buddha, suara Lakundaka Bhaddiya paling lembut dan enak didengar.

    Karena bentuk tubuhnya yang pendek, Lakundaka Bhaddiya sering diganggu oleh bhikkhu-bhikkhu lainnya (lihat kisah ke 81). Nampaknya Sang Buddha sering harus memberitahukan kepada bhikkhu-bhikkhu/samanera puthujanna (yang belum mencapai kesucian) bahwa Lakundaka Bhaddiya Thera bukan samanera (kisah 260-261), bahwa sesungguhnya ia adalah orang yang hebat, walaupun badannya kecil tetapi besar kekuatannya, dan telah mencapai  arahat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar