Selasa, 26 Mei 2015

BAB III : RIWAYAT HIDUP BUDDHA GOTAMA

Riwayat Hidup Buddha Gotama – Bab III – Pemutaran Roda Dhamma


BAB III
PEMUTARAN RODA DHAMMA

Setelah tiba di Benares, kelima orang pertapa melihat Sang Buddha sedang memasuki Taman Rusa. Seorang dari lima pertapa itu mengatakan, “Kawan-kawan, lihat, Pertapa Gotama sedang memasuki taman, ia adalah orang yang senang dengan kenikmatan dunia. Ia tergelincir dari kehidupan suci dan kembali ke kehidupan yang penuh kesenangan dan kenikmatan. Sebaiknya kita tidak usah menyapanya. Lagipula kita jangan memberi hormat kepadanya. Kita sebaiknya juga jangan menawarkan diri untuk menyambut mangkuk dan jubahnya. Kita hanya menyediakan tikar untuk tempat duduknya. Ia boleh menggunakannya kalau mau dan kalau tidak mau, ia boleh berdiri saja. Siapakah yang mau mengurus seorang pertapa yang telah gagal?”
Waktu Sang Buddha datang lebih dekat, mereka melihat bahwa ada sesuatu yang berubah dan Sang Buddha tidak sama dengan Pertapa Gotama yang dulu mereka kenal. Ia sekarang kelihatannya lebih mulia dan agung, yang belum pernah mereka lihat sebelumnya. Meskipun mereka semula sudah sepakat untuk tidak menghormat kepada Sang Buddha, namun sewaktu Sang Buddha mendekat, mereka seolah-olah lupa kepada apa yang mereka sepakati.
Seorang diantara mereka maju ke depan dan dengan hormat menyambut mangkuk dan jubah-Nya, sedangkan yang lain sibuk menyiapkan tempat duduk dan yang lain lagi bergegas mengambil air untuk membasuh kaki Sang Buddha. 

Setelah mengambil tempat duduk, Sang Buddha lalu berkata “Dengarlah, oh Pertapa. Aku telah menemukan jalan yang menuju ke keadaan terbebas dari kematian. Akan kuberitahukan kepadamu. Akan kuajarkan. kepadamu. Kalau engkau ingin mendengar, belajar, dan melatih diri seperti yang akan kuajarkan dalam waktu singkat engkau pun dapat mengerti, bukan nanti kelak kemudian hari, tetapi sekarang juga dalam kehidupan ini bahwa apa yang kukatakan itu adalah benar. Engkau dapat menyelami sendiri keadaan itu yang berada di atas hidup dan mati.”
Tentu saja kelima pertapa merasa heran sekali mendengar ucapan Sang Buddha. Sebab mereka melihat sendiri Beliau berhenti berpuasa, mereka melihat sendiri Beliau menghentikan semua usaha untuk menemukan Penerangan Agung dan sekarang Beliau datang kepada mereka untuk memberitahukan bahwa Beliau telah menemukan Penerangan Agung itu. Karena itu mereka tidak percaya akan apa yang Sang Buddha katakan. Mereka menjawab,
“Sahabat (avuso) Gotama, sewaktu kami masih berdiam bersama-sama Anda, Anda telah berlatih dan menyiksa diri Anda seperti yang belum pernah dilakukan oleh siapa pun juga di seluruh Jambudipa. Karena itulah kami menganggap Anda sebagai pemimpin dan guru kami. Tetapi dengan segala cara penyiksaan diri itu ternyata Anda tidak berhasil menemukan apa yang Anda cari, yaitu Penerangan Agung. Setelah sekarang Anda kembali kehidupan yang penuh kesenangan dan kenikmatan dan berhenti berusaha dan melatih diri, mana mungkin Anda sekarang telah menemukannya?”
“Kamu keliru, Pertapa. Aku tidak pernah berhenti berusaha. Aku tidak kembali ke kehidupan yang penuh kesenangan dan kenikmatan. Dengarlah apa yang kukatakan. Aku sesungguhnya telah memperoleh Kebijaksanaan yang Tertinggi. Dan dapat mengajar kamu untuk juga memperoleh Kebijaksanaan tersebut untuk dirimu sendiri.”
Setelah itu kelima pertapa bersedia mendengarkan khotbah-Nya. Maka Sang Buddha memberikan khotbah-Nya yang pertama yang kelak dikenal sebagai Dhammacakkappavattana Sutta (Khotbah Pemutaran Roda Dhamma). Khotbah pertama diucapkan oleh Sang Buddha tepat pada saat purnama sidhi di bulan asalha.



Dhammacakkappavattana Sutta

Di bawah ini diuraikan singkatan dari khotbah tersebut.
“Dua pinggiran yang ekstrim, oh Bhikkhu, yang harus dihindari oleh seorang bhikkhu. Pinggiran ekstrim pertama ialah mengumbar nafsu-nafsu yang bersifat rendah, hanya dilakukan oleh orang yang masih berkeluarga, sifat khas dari orang yang terikat kepada hal-hal duniawi, tidak mulia dan tidak berfaedah.
Pinggiran ekstrim kedua ialah menyiksa diri, yang menimbulkan kesakitan yang hebat, tidak mulia dan tidak berfaedah. 

Jalan Tengah dengan menghindari kedua pinggiran yang ekstrim telah kuselami, sehingga kuperoleh Pandangan Terang, Kebijaksanaan, Ketenangan, Pengetahuan Tertinggi, Penerangan agung, dan Nibbana.

Selanjutnya oh Bhikkhu, inilah yang dinamakan Kesunyataan Mulia tentang Dukkha: dilahirkan, usia tua, sakit, mati, sedih, ratap tangis, gelisah, berhubungan dengan sesuatu yang tidak disukai, terpisah dari sesuatu yang disukai dan tidak memperoleh sesuatu yang didambakan.
Secara singkat dapat dikatakan bahwa Lima Khanda (Lima Kelompok Kehidupan/Kegemaran) itu adalah penderitaan.

Selanjutnya, oh Bhikkhu, inilah yang dinamakan Kesunyataan Mulia tentang Asal Mula Dukkha: nafsu keinginan yang tidak habis-habisnya (tanha), melekat kepada kenikmatan dan nafsu-nafsu yang minta diberi kepuasan, keinginan untuk menikmati nafsu-nafsu indria, keinginan untuk hidup terus-menerus secara abadi dan keinginan untuk memusnahkan diri.

Selanjutnya, oh Bhikkhu, inilah yang dinamakan Kesunyataan Mulia tentang Lenyapnya Dukkha: nafsu-nafsu keinginan (tanha) yang secara menyeluruh dapat disingkirkan, dilenyapkan, ditinggalkan, diatasi, dan dilepaskan.

Selanjutnya, oh Bhikkhu, inilah yang dinamakan Kesunyataan Mulia tentang Jalan Menuju Lenyapnya Dukkha: Pengertian Benar, Pikiran Benar, Ucapan Benar, Perbuatan Benar, Penghidupan Benar, Daya upaya Benar, Perhatian Benar dan Konsentrasi Benar.

Kemudian timbul dalam diri-Ku, oh Bhikkhu, Penglihatan, Pandangan, Kebijaksanaan, Pengetahuan dan Penerangan bahwa ini adalah Kesunyataan Mulia tentang dukkha yang harus dimengerti dan yang telah Kumengerti.

Kemudian timbul dalam diri-Ku, oh Bhikkhu, Penglihatan, Pandangan, Kebijaksanaan, Pengetahuan dan Penerangan bahwa ini adalah Kesunyataan Mulia tentang Asal Mula Dukkha yang harus dimengerti dan yang telah Kumengerti.

Kemudian timbul dalam diri-Ku, oh Bhikkhu, Penglihatan, Pandangan, Kebijaksanaan, Pengetahuan dan Penerangan bahwa ini adalah Kesunyataan Mulia tentang Lenyapnya Dukkha yang harus dimengerti dan yang telah Kumengerti.

Kemudian timbul dalam diri-Ku, oh Bhikkhu, Penglihatan, Pandangan, Kebijaksanaan, Pengetahuan dan Penerangan bahwa ini adalah Kesunyataan Mulia tentang Jalan Menuju Lenyapnya Dukkha yang harus dimengerti dan yang telah Kumengerti.

Selama pandangan-Ku terhadap Kesunyataan Mulia yang disebut di atas masih belum jelas benar mengenai tiga seginya dan dua belas jalannya, Aku belum dapat menuntut dan menyatakan dengan pasti bahwa Aku telah memperoleh Penerangan Agung yang tiada bandingnya di alam-alam para dewa, mara, brahma, pertapa, brahmana dan manusia.
Dengan demikian timbul dalam diriaKu Pandangan Terang dan Pengetahuan bahwa Aku sekarang telah terbebas sama sekali dari keharusan untuk terlahir kembali di dunia ini dan kehidupanKu yang sekarang ini merupakan kehidupan-Ku yang terakhir.”

Setelah Sang Buddha selesai berkhotbah, Kondañña memperoleh Mata Dhamma karena dapat mengerti (añña) dengan jelas makna khotbah tersebut dan menjadi seorang Sotapanna (makhluk suci tingkat kesatu).
Añña Kondañña yang sekarang tidak meragu-ragukan lagi ajaran Sang Buddha mohon untuk dapat diterima sebagai murid. Sang Buddha meluluskan permohonan ini dan mentahbiskannya dengan kata-kata, “Mari (ehi) bhikkhu, Dhamma telah dibabarkan dengan jelas. Laksanakan kehidupan suci dan singkirkanlah penderitaan.”
Dengan demikian Añña Kondañña menjadi bhikkhu pertama yang ditahbiskan dengan ucapan “ehi bhikkhu”.
Sejak hari itu Sang Buddha tinggal di Taman Rusa dan tiap hari Beliau memberikan uraian Dhamma kepada lima orang pertapa tersebut.

Dua hari setelah itu, pertapa Vappa dan Bhaddiya memperoleh Mata Dhamma dan kemudian ditahbiskan oleh Sang Buddha dengan menggunakan kalimat “ehi bhikkhu”.

Dan dua hari kemudian, pertapa Mahanama dan Assaji memperoleh Mata Dhamma dan ditahbiskan oleh Sang Buddha dengan menggunakan kalimat “ehi bhikkhu”.
Lima hari setelah memberikan khotbah pertama, Sang Buddha memberikan khotbah kedua dengan judul Anattalakkhanasutta.


 Anattalakkhanasutta

Singkatan dari khotbah ini adalah sebagai berikut:
Rupa (badan jasmani), oh Bhikkhu, Vedana (perasaan), Sañña (pencerapan), Sankhara (pikiran) dan Viññana (kesadaran) adalah Lima Khandha (lima kelompok kehidupan/kegemaran) yang semuanya tidak memiliki Atta (roh).

Kalau sekiranya Khandha itu memiliki Atta (roh), maka ia dapat berubah sekehendak hatinya dan tidak akan menderita karena semua kehendak dan keinginannya dapat dipenuhi, misalnya ‘Semoga Khandha-ku begini dan bukan begitu.’

Tetapi karena Khandha itu Anatta (tanpa roh), maka ia tidak dapat berubah sekehendak hatinya dan karena itu menderita sebab semua kehendak dan keinginannya tidak dapat dipenuhi, misalnya ‘Semoga Khandha-ku begini dan bukan begitu.’

Setelah mengajar kelima orang bhikkhu itu untuk menganalisa badan jasmani dan batin menjadi lima khandha, Sang Buddha lalu menanyakan pendapat mereka mengenai hal yang di bawah ini:

“Oh, Bhikkhu, bagaimana pendapatmu, apakah Khandha itu kekal atau tidak kekal?”
“Mereka tidak kekal, Bhante.”
“Di dalam sesuatu yang tidak kekal, apakah terdapat kebahagiaan atau penderitaan?”
“Di sana terdapat penderitaan, Bhante.”
“Mengenai sesuatu yang tidak kekal dan penderitaan, ditakdirkan untuk musnah, apakah tepat kalau dikatakan bahwa itu adalah ‘milikku’, ‘aku’ dan ‘diriku’ ?”
“Tidak tepat, Bhante.”

Selanjutnya Sang Buddha mengajar untuk jangan melekat kepada lima khandha tersebut dengan melakukan perenungan sebagai berikut:
Karena kenyataannya memang demikian, oh Bhikkhu, maka lima khandha yang lampau atau yang ada sekarang ini, kasar atau halus, menyenangkan atau tidak menyenangkan, jauh atau dekat, harus diketahui sebagai Khandha (Kelompok Kehidupan/Kegemaran) semata-mata.
Selanjutnya engkau harus melakukan perenungan dengan memakai Kebijaksanaan bahwa semua itu bukanlah ‘milikmu’ atau ‘kamu’ atau ‘dirimu’.

Siswa Yang Ariya yang mendengar uraian ini, oh Bhikkhu, akan melihatnya dari segi itu. Setelah melihat dengan jelas dari segi itu, ia akan merasa jemu terhadap lima khandha tersebut. Setelah merasa jemu, ia akan melepaskan nafsu-nafsu keinginan. Setelah melepaskan nafsu-nafsu keinginan batinnya, ia tidak melekat lagi kepada sesuatu.
Karena tidak melekat lagi kepada sesuatu maka akan timbul Pandangan Terang, sehingga ia mengetahui bahwa ia sudah terbebas. Siswa Yang Ariya itu tahu bahwa ia sekarang sudah terbebas dari tumimbal lahir, kehidupan suci telah dilaksanakan dan selesailah tugas yang harus dikerjakan dan tidak ada sesuatu pun yang masih harus dikerjakan untuk memperoleh Penerangan Agung.
Sewaktu kelima bhikkhu tersebut merenungkan khotbah Sang Buddha, mereka semua dapat membersihkan diri mereka dari segala kekotoran batin (Asava) dan terbebas seluruhnya dari kemelekatan (Upadana) dan mencapai tingkat kesucian yang tertinggi, yaitu Arahat.



Yasa

Waktu itu di Benares, bertempat tinggal seorang anak muda bernama Yasa. Yasa adalah anak seorang pedagang kaya raya dan sebagaimana juga halnya dengan Pangeran Siddhattha, Yasa pun memiliki tiga buah istana dan hidup dengan penuh kemewahan dikelilingi oleh gadis-gadis cantik yang menyajikan berbagai macam hiburan. Kehidupan yang penuh kesenangan ini berlangsung untuk beberapa lama sampai pada satu malam di musim hujan, Yasa melihat satu pemandangan yang mengubah seluruh jalan hidupnya.
Malam itu ia terbangun pada larut malam dan dari sinar lampu di kamarnya, Yasa melihat pelayan-pelayannya sedang tidur dalam berbagai macam sikap yang membuatnya jemu dan muak sekali. Ia merasa seperti berada di tempat pekuburan dengan dikelilingi mayat-mayat yang bergelimpangan. Karena tidak tahan lagi melihat keadaan itu, maka dengan mengucapkan, “Alangkah menakutkan tempat ini! Alangkah mengerikan tempat ini!” Yasa memakai sandalnya dan meninggalkan istananya dalam keadaan pikiran kalut dan penuh kecemasan. Ia berjalan menuju ke Taman Rusa di Isipatana. Waktu itu menjelang pagi hari dan Sang Buddha sedang berjalan-jalan. Sewaktu berpapasan dengan Yasa, Sang Buddha menegur, “Tempat ini tidak menakutkan. Tempat ini tidak mengerikan. Mari duduk di sini, Aku akan mengajarmu.”
Mendengar sapaan Sang Buddha, Yasa berpikir, “Kalau begitu baik juga kalau tempat ini tidak menakutkan dan tidak mengerikan.”
Yasa membuka sandalnya, menghampiri Sang Buddha, memberi hormat dan kemudian duduk di sisi Sang Buddha.
Sang Buddha kemudian memberikan uraian yang disebut Anupubbikatha, yaitu uraian mengenai pentingnya berdana, hidup bersusila, tumimbal lahir di surga sebagai akibat dari perbuatan baik, buruknya mengumbar nafsu-nafsu, dan manfaat melepaskan diri dari semua ikatan duniawi.

Selanjutnya Sang Buddha memberikan uraian tentang Empat Kesunyataan Mulia yang dapat membebaskan manusia dari nafsu-nafsu keinginan. Setelah Sang Buddha selesai memberikan uraian, Yasa memperoleh Mata Dhamma sewaktu masih duduk di tempat itu. Yasa kemudian mencapai tingkat Arahat sewaktu Sang Buddha mengulang uraian tersebut di hadapan ayahnya.
Keesokan hari seluruh penghuni istana Yasa menjadi ribut karena Yasa tidak ada di kamarnya dan juga tidak diketemukan di bagian lain dari istananya. Ayahnya memerintahkan pegawai-pegawainya untuk mencari ke segenap penjuru dan ia sendiri pergi mencari ke Isipatana. Di Taman Rusa ia melihat sandal anaknya. Tidak jauh dari tempat itu, ia bertemu dengan Sang Buddha dan bertanya apakah Sang Buddha melihat Yasa. Yasa sebenarnya sedang duduk di sisi Sang Buddha, tetapi karena Sang Buddha menggunakan kekuatan gaib maka Yasa tidak melihat ayahnya dan ayahnya tidak melihat Yasa. Sebelum menjawab pertanyaan ayah Yasa, terlebih dulu Sang Buddha memberikan uraian tentang pentingnya berdana, hidup bersusila, tumimbal lahir di surga sebagai akibat dari perbuatan baik, buruknya mengumbar nafsu-nafsu, dan manfaat melepaskan diri dari semua ikatan duniawi. Kemudian dilanjutkan dengan uraian tentang Empat Kesunyataan Mulia yang dapat membebaskan manusia dari nafsu-nafsu keinginan.
Setelah Sang Buddha selesai memberikan uraian, ayah Yasa memperoleh Mata Dhamma dan mohon untuk diterima sebagai pengikut dengan mengucapkan, “Aku berlindung kepada Buddha, Dhamma, dan Sangha. Semoga Sang Bhagava menerima aku sebagai upasaka mulai hari ini sampai akhir hidupku.” Dengan demikian ayah Yasa menjadi upasaka pertama yang berlindung kepada Buddha, Dhamma, dan Sangha.
Seperti dijelaskan di halaman depan, Tapussa dan Bhallika adalah pengikut Sang Buddha yang pertama, tetapi mereka berlindung hanya kepada Buddha dan Dhamma karna pada waktu itu belum ada Sangha (Pesamuan Para Bhikkhu, yang sekurang-kurangnya terdiri dari lima orang bhikkhu). Yasa yang untuk kedua kalinya mendengarkan uraian Sang Buddha mencapai tingkat kesucian yang tertinggi, yaitu Arahat.
Pada waktu itulah Sang Buddha menarik kembali kekuatan gaibnya, sehingga Yasa dapat melihat ayahnya dan ayahnya dapat melihat Yasa.
Ayah Yasa menegur anaknya dan mendesak agar Yasa pulang kembali ke istananya dengan mengatakan, “Yasa, ibumu sangat sedih. Ayolah pulang demi menyelamatkan nyawa ibumu.”
Yasa menengok ke arah Sang Buddha dan Sang Buddha menjawab, “Kepala keluarga yang baik, beberapa waktu berselang, Yasa memperoleh Mata Dhamma sebagaimana juga Anda memperolehnya pada hari ini dan menjadi seorang Ariya yang masih membutuhkan sesuatu yang lebih tinggi untuk mencapai Pembebasan Sempurna. Hari ini Yasa berhasil menyingkirkan semua kekotoran batin dan mencapai Pembebasan Sempurna. Cobalah pikir, apakah mungkin Yasa kembali ke kehidupan biasa dan menikmati kesenangan nafsu-nafsu indria?”
“Aku rasa memang tidak mungkin. Hal ini sudah menjadi rejekinya. Tetapi, bolehkah saya mengundang Sang Bhagava supaya besok siang berkenan mengambil dana (makanan) di rumahku disertai anakku sebagai bhikkhu pengiring?”
Sang Buddha menerima undangan ini dengan membisu (berdiam diri). Mengetahui permohonannya diterima, ayah Yasa berdiri, memberi hormat dan berjalan memutar dengan Sang Buddha tetap di sisi kanannya dan kembali pulang ke istananya. Setelah ayahnya pulang, Yasa mohon kepada Sang Buddha untuk ditahbiskan menjadi bhikkhu. Sang Buddha mentahbiskannya dengan menggunakan kalimat yang juga digunakan untuk mentahbiskan lima murid-Nya yang pertama yaitu, “Ehi bhikkhu, Dhamma telah dibabarkan dengan jelas. Laksanakanlah kehidupan suci.” Perbedaannya bahwa Sang Buddha tidak mengucapkan “dan singkirkanlah penderitaan” karena Yasa pada waktu itu sudah mencapai tingkat Arahat. Dengan demikian, pada waktu itu sudah ada tujuh orang Arahat (Sang Buddha sendiri juga seorang Arahat, tetapi seorang Arahat istimewa karena mencapai Kebebasan dengan daya upaya sendiri).

Keesokan harinya dengan diiringi Yasa, Sang Buddha pergi ke istana ayah Yasa dan duduk di tempat yang telah disediakan. Ibu dan istri Yasa keluar dan memberi hormat.
Sang Buddha kembali memberikan uraian tentang Anupubbikatha dan mereka berdua pun memperoleh Mata Dhamma. Mereka memuji keindahan uraian tersebut dan mohon dapat diterima sebagai Upasika dengan berlindung kepada Buddha, Dhamma, dan Sangha untuk seumur hidup.
Mereka adalah pengikut-pengikut wanita pertama yang berlindung kepada Tiga Mustika (Buddha, Dhamma, dan Sangha).

Setelah itu, makan siang disiapkan dan kedua wanita itu melayani sendiri Sang Buddha dan Yasa dengan hidangan yang lezat-lezat. Sehabis makan siang, Sang Buddha dan Yasa kembali ke Taman Rusa di Isipatana.
Di Benares, Yasa mempunyai empat orang sahabat, semuanya anak-anak orang kaya yang bernama Vimala, Subahu, Punnaji, dan Gavampati. Mereka mendengar bahwa Yasa sekarang sudah menjadi bhikkhu. Mereka menganggap bahwa ajaran-ajaran yang benar-benar sempurnalah yang dapat menggerakkan hati Yasa untuk meninggalkan kehidupannya yang mewah.
Karena itu mereka menemui bhikkhu Yasa yang kemudian membawa keempat kawannya itu menghadap Sang Buddha. Setelah mendengar khotbah Sang Buddha, mereka semua memperoleh Mata Dhamma dan kemudian diterima menjadi bhikkhu.

Setelah mendapat penjelasan tambahan, keempat orang ini dalam waktu singkat mencapai tingkat Arahat. Dengan demikian jumlah Arahat pada waktu itu sebelas orang.
Tetapi bhikkhu Yasa mempunyai banyak teman lagi yang berada di tempat-tempat jauh, semuanya berjumlah lima puluh orang. Mendengar sahabat mereka menjadi bhikkhu, mereka pun mengambil keputusan untuk mengikuti jejak bhikkhu Yasa. Mereka semua diterima menjadi bhikkhu dan dalam waktu singkat semuanya mencapai tingkat Arahat, sehingga pada waktu itu terdapat enam puluh satu orang Arahat.

》bersambung




Tidak ada komentar:

Posting Komentar