Kamis, 21 Mei 2015

BAB I : RIWAYAT HIDUP BUDDHA GOTAMA

Riwayat Hidup Buddha Gotama


Sumber : Riwayat Hidup Buddha Gotama;
Penyusun : Maha Pandita Sumedha Widyadharma;
Penerbit : Cetiya Vatthu Daya; Cetakan Keduabelas, 1999


BAB I
MASA BERKELUARGA


Pendahuluan

Pada zaman dahulu, daerah Majjhima desa (daerah tengah dari Jambudipa ~sekarang India~) dihuni oleh suku bangsa Ariyaka yang datang dari Utara Pegunungan Himalaya. Di daerah lereng Pegunungan Himalaya inilah terletak sebuah kerajaan yang bernama Kerajaan Sakka (pada waktu itu di daerah tersebut banyak sekali terdapat pohon sakka).

Sejarah kerajaan tersebut menurut buku-buku kuno adalah sebagai berikut :
Seorang raja bernama raja Okkaka yang memerintah daerah tersebut mempunyai empat orang putra (Okkamukha, Karanda, Hatthinika, dan Sinipura) dan lima orang putri.

Pada suatu hari, Ratu (yang juga adalah saudaranya) meninggal dunia dan Raja menikah lagi dengan seorang gadis yang kemudian melahirkan seorang anak laki-laki. Merasa gembira sekali, Raja telah melepaskan kata-kata dan berjanji kepada Ratu (yang baru) bahwa beliau akan meluluskan semua permintaan Ratu, apapun juga yang akan dimintanya.
Dalam kesempatan yang baik itu, Ratu memohon kepada Raja agar anaknya yang baru dilahirkan diangkat menjadi Putra Mahkota.
Mendengar permintaan tersebut Raja menjadi kaget dan menolak untuk meluluskan permohonan tersebut. Tetapi Ratu terus-menerus merengek-rengek serta mengingatkan Raja akan janjinya. Raja menjadi serba salah. Karena malu untuk tidak menepati janji yang pernah diberikannya, maka akhirnya Raja memanggil keempat orang putranya dan memerintahkan untuk membawa saudara-saudara perempuannya pergi ke suatu daerah lain untuk membangun sebuah negara baru.

Keempat putra Raja tersebut, tidak lama kemudian mohon diri dari ayahandanya dan bersama dengan saudari-saudarinya berangkat menuju sebuah hutan disertai dengan rombongan ahli-ahli dalam berbagai bidang untuk membangun sebuah negara baru.
Mereka memilih sebuah hutan yang banyak ditumbuhi pohon-pohon sakka di lereng Gunung Himalaya, di dekat tempat yang sejak lama dihuni oleh seorang pertapa bernama Kapila. Sebab itulah, maka kota yang kemudian mereka bangun diberi nama Kapilavatthu (vatthu = tempat).

Di tempat itulah mereka menikah diantara mereka bersaudara, terkecuali putri yang tertua yang menikah dengan Raja dari Devadaha. Empat pasangan yang tersebut duluan merupakan leluhur dari Dinasti Sakya dan pasangan yang belakangan merupakan leluhur dari Dinasti Koliya.

Pada suatu waktu, Raja yang memerintah di kota Kapilavatthu adalah Raja Jayasena yang mempunyai seorang putra bernama Sihahanu dan seorang putri yang bernama Yasodhara.
Setelah Raja Jayasena meninggal dunia, Pangeran Sihahanu menjadi Raja di Kapilavatthu dan menikah dengan Putri Kencana, yaitu adik dari Raja Anjana dari Devadaha. Mereka diberkahi dengan lima orang putra yang diberi nama Suddhodana, Sukkodana, Amitodana, Dhotodana, dan Ghanitodana dan dua orang putri yang diberi nama Pamita dan Amita.

Adik dari Raja Sihahanu, yaitu Putri Yasodhara, menikah dengan Raja Anjana dari Devadaha dan diberkahi dengan dua orang putra yang diberi nama Suppabuddha dan Dandapani, dan dua orang putri yang diberi nama Maya dan Pajapati (atau Gotami).
Setelah Raja Sihahanu mangkat, Pangeran Suddhodana menduduki tahta Kerajaan Sakya dan kemudian menikah dengan Putri Maya.

Pernikahan Raja Suddhodana dan Ratu Maya inilah yang diberkahi dengan kelahiran seorang putra tunggal yang di kemudian hari menjadi terkenal dengan nama Buddha Gotama.

Adik Raja Suddhodana yang bernama Sukkodana mempunyai seorang putra yaitu Ananda. Amitodana mempunyai dua orang putra yaitu Mahanama dan Anuruddha dan seorang putri bernama Rohini. Sedangkan adik perempuannya yang bernama Amita mempunyai seorang putra yaitu Devadatta dan seorang putri bernama Yasodhara, yang kelak menjadi istri dari Pangeran Siddhatta.


Lahirnya Pangeran Siddhatta

Meskipun Raja Suddhodana dan Ratu Maya sudah lama menikah, namun anak yang sangat mereka dambakan belum juga mereka peroleh, sampai pada suatu waktu Ratu Maya mencapai umur kurang lebih 45 tahun.
Ketika itu, Ratu Maya ikut serta dalam perayaan Asalha yang berlangsung tujuh hari lamanya. Setelah perayaan selesai, Ratu Maya mandi dengan air wangi, mengucapkan janji uposatha dan kemudian masuk ke kamar tidur.


Sewaktu tidur, Ratu Maya memperoleh mimpi yang aneh sekali. Ratu bermimpi bahwa empat orang Dewa Agung telah mengangkatnya dan membawanya ke Himava (Gunung Himalaya) dan meletakkannya di bawah pohon Sala di (lereng) Manosilatala. Kemudian para istri Dewa-dewa Agung tersebut memandikannya di Danau Anotatta, menggosoknya dengan minyak wangi dan kemudian memakaikannya pakaian-pakaian yang biasa dipakai para dewata. Selanjutnya Ratu dipimpin masuk ke sebuah istana emas dan direbahkan di sebuah dipan yang bagus sekali. Di tempat itulah seekor gajah putih dengan memegang sekuntum bunga teratai di belalainya memasuki kamar, mengelilingi dipan sebanyak tiga kali untuk kemudian memasuki perut Ratu Maya dari sebelah kanan.
Ratu memberitahukan mimpi ini kepada Raja dan Raja lalu memanggil para brahmana untuk menanyakan arti mimpi tersebut.
Para brahmana menerangkan bahwa Ratu akan mengandung seorang bayi laki-laki yang kelak akan menjadi seorang Cakkavatti (Raja dari semua Raja) atau seorang Buddha.
Memang sejak hari itu Ratu mengandung, dan Ratu Maya dapat melihat dengan jelas bayi dalam kandungannya yang duduk dalam sikap meditasi dengan muka menghadap ke depan.
Sepuluh bulan kemudian di bulan Vaisak, Ratu mohon perkenan dari Raja untuk dapat bersalin di rumah ibunya di Devadaha.
Dalam perjalanan ke Devadaha, tibalah rombongan Ratu di Taman Lumbini (sekarang Rumminde di Pejwar, Nepal) yang indah sekali. 
Di kebun itu Ratu memerintahkan rombongan berhenti untuk beristirahat. Dengan gembira Ratu berjalan-jalan di taman dan berhenti di bawah pohon Sala. Pada waktu itulah Ratu merasa perutnya agak kurang enak. Dengan cepat dayang-dayang membuat tirai di sekeliling Ratu. Ratu berpegangan pada dahan pohon Sala dan dalam sikap berdiri itulah Ratu melahirkan seorang bayi laki-laki. Ketika itu tepat purnama sidhi di bulan Vaisak tahun 623 SM.

Empat Maha Brahma menerima Sang Bayi dengan jala emas dan kemudian dari langit turun air dingin dan panas untuk memandikan Sang Bayi sehingga menjadi segar.
Sang Bayi sendiri sudah bersih karena tiada darah atau noda-noda lain yang melekat pada tubuhnya.
Bayi itu kemudian berdiri tegak dan berjalan tujuh langkah di atas tujuh kuntum bunga teratai ke arah Utara.
Setelah berjalan tujuh langkah, bayi itu lalu mengucapkan kata-kata sebagai berikut :

“Aggo ‘ham asmi lokassa,
jettho ‘ham asmi lokassa,
settho ‘ham asmi lokassa,
ayam antima jati,
natthi dani punabbhavo.”

Artinya ;

“Akulah pemimpin dalam dunia ini,
Akulah tertua dalam dunia ini,
Akulah teragung dalam dunia ini,
Inilah kelahiranku yang terakhir,
Tak akan ada tumimbal lahir lagi.”

Seorang pertapa yang bernama Asita (yang juga disebut Kaladevala) sewaktu bermeditasi di Pegunungan Himalaya, diberitahukan oleh para dewa dari alam Tavatimsa bahwa seorang bayi telah lahir yang kelak akan menjadi Buddha. Pada hari itu juga pertapa Asita berkunjung ke istana Raja Suddhodana untuk melihat bayi tersebut.


Setelah melihat Sang bayi dan memperhatikan adanya 32 tanda dari seorang Mahapurisa (“orang besar”), pertapa Asita memberi hormat kepada Sang bayi, yang kemudian diikuti juga oleh Raja Suddhodana. Setelah memberi hormat, pertapa Asita tertawa gembira tetapi kemudian menangis.
Menjawab pertanyaan Raja Suddhodana, pertapa Asita menerangkan bahwa Sang bayi kelak akan menjadi Buddha, namun karena usianya sudah lanjut maka ia sendiri tidak lagi dapat menunggu bayi itu kelak memulai memberikan Ajaran-Nya.
Selanjutnya pertapa Asita mengatakan bahwa Pangeran kecil itu kelak tidak boleh melihat empat peristiwa, yaitu :
1.Orang tua.
2.Orang sakit.
3.Orang mati.
4.Pertapa suci.

Kalau pangeran kelak melihat empat peristiwa tersebut, maka Beliau akan segera meninggalkan istana dan bertapa untuk menjadi Buddha.

Pada hari yang sama lahir (timbul) pula dalam dunia ini :
●Putri Yasodhara, yang kemudian dikenal juga sebagai Rahulamata (ibu dari Rahula).

●Ananda, yang kelak menjadi pembantu tetap Sang Buddha.

●Kanthaka, yang kelak menjadi kuda Pangeran Siddhattha.

●Channa, yang kelak menjadi kusir Pangeran Siddhattha.

●Kaludayi, yang kelak mengundang Sang Buddha untuk berkunjung kembali ke Kapilavatthu.

●Seekor gajah istana.

●Pohon Bodhi, di bawah pohon ini Pangeran Siddhattha kelak mendapatkan Penerangan Agung.

●Nidhikumbhi, kendi tempat harta pusaka.

Lima hari setelah lahirnya Sang bayi, Raja Suddhodana memanggil sanak keluarganya berkumpul, bersama-sama dengan seratus delapan orang Brahmana untuk merayakan kelahiran anak pertamanya dan juga untuk memilih nama yang baik. Diantara para Brahmana terdapat 8 orang Brahmana yang mahir dalam meramal nasib, yaitu : Rama, Dhaja, Lakkhana, Manti, Kondañña, Bhoja, Suyama dan Sudatta.

Para peramal tersebut, kecuali Kondañña, meramalkan bahwa Sang bayi kelak akan menjadi Cakkavati (Raja dari semua Raja) atau akan menjadi Buddha.

Hanya Kondañña (Brahmana yang termuda) sajalah yang dengan pasti mengatakan bahwa Sang bayi kelak akan menjadi Buddha.

Nama yang kemudian dipilih adalah Siddhattha yang berarti “Tercapailah segala cita-citanya”.
Tujuh hari setelah Pangeran Siddhattha dilahirkan, Ratu Maya meninggal dunia dan terlahir kembali di surga Tusita.

Raja Suddhodana menyerahkan perawatan Sang bayi kepada Putri Pajapati (adik Ratu Maya) yang juga dinikahinya.

Dari pernikahan ini kemudian lahir seorang putra, yaitu Nanda dan seorang putri, yaitu Rupananda.


Perayaan Membajak

Setelah Pangeran berumur beberapa tahun, Raja Suddhodana mengajaknya untuk turut pergi ke perayaan membajak bersama-sama para petani dengan menggunakan sebuah alat bajak yang terbuat dari emas.
Sewaktu perayaan berlangsung dengan meriah, dayang-dayang yang ditugaskan untuk menjaga Pangeran merasa tertarik sekali dengan jalannya perayaan itu. Mereka ingin menyaksikan perayaan tersebut dan meninggalkan Pangeran kecil di bawah bayangan pohon jambu. Setelah kembali mereka merasa heran sekali melihat Pangeran sedang bermeditasi dan duduk bersila.
Dengan cepat mereka melaporkan peristiwa tersebut kepada Raja. Raja dengan diiringi para petani berbondong-bondong datang untuk menyaksikan peristiwa ganjil tersebut. Benar saja mereka menemukan Pangeran kecil sedang bermeditasi dengan kaki bersila dan tidak menghiraukan kehadiran orang-orang yang sedang memperhatikannya.

Karena Pangeran saat itu telah mencapai Jhana, yaitu suatu tingkatan pemusatan pikiran, maka sama sekali tidak terganggu oleh suara-suara yang berisik. Ada lagi satu keajaiban lain. Bayangan pohon jambu tidak mengikuti jalannya matahari tetapi tetap memayungi Pangeran kecil yang sedang bermeditasi. Melihat keadaan yang ganjil ini untuk kedua kalinya Raja Suddhodana memberi hormat kepada anaknya.

Masa Kanak-Kanak

Setelah Pangeran berusia tujuh tahun, Raja memerintahkan untuk menggali tiga kolam di halaman istana. Di kolam-kolam itu ditanami berbagai jenis bunga teratai (lotus). Satu kolam dengan bunga teratai yang berwarna biru (Upala), satu kolam dengan bunga yang berwarna merah (Paduma), dan satu kolam lagi dengan bunga yang berwarna putih (Pundarika). Selain tiga kolam tersebut, Raja juga memesan wangi-wangian, pakaian dan tutup kepala dari negara Kasi, yang waktu itu terkenal karena menghasilkan barang-barang tersebut dengan mutu yang terbaik.

Pelayan-pelayan diperintahkan untuk melindungi Pangeran pergi, baik siang maupun malam hari sebagai lambang dari keagungannya.

Setelah tiba waktunya untuk bersekolah, Raja memerintahkan seorang guru bernama Visvamitta untuk memberikan pelajaran kepada Pangeran dalam berbagai ilmu pengetahuan. Ternyata Pangeran cerdas sekali. Semua pelajaran yang diberikan, dengan cepat dapat dipahami sehingga dalam waktu singkat tidak ada lagi hal-hal yang dapat diajarkan kepada Pangeran kecil.

Sejak kanak-kanak, Pangeran terkenal sebagai anak yang penuh kasih sayang terhadap sesama mahluk hidup seperti terlihat dari kisah di bawah ini.
Pada suatu hari Pangeran sedang berjalan-jalan di taman dengan saudara sepupunya, Devadatta, yang pada waktu itu membawa busur dan panah. Devadatta melihat serombongan belibis hutan terbang di atas mereka. Dengan cekatan Devadatta membidikkan panahnya dan berhasil menembak jatuh seekor belibis. Pangeran dan Devadatta berlari-lari ke tempat belibis itu jatuh. Pangeran tiba terlebih dahulu dan memeluk belibis itu yang ternyata masih hidup.
Pangeran dengan hati-hati dan penuh kasih sayang mencabut panah dari sayap belibis tersebut, kemudian meremas-remas beberapa lembar daun hutan dan dipakaikan sebagai obat untuk menutupi luka bekas kena anak panah.

Devadatta minta agar belibis tersebut diserahkan kepadanya karena ia yang menembaknya jatuh. Namun Pangeran tidak memberinya dan mengatakan, “Tidak, belibis ini tidak akan aku serahkan kepadamu. Kalau ia mati, maka ia benar adalah milikmu. Tetapi sekarang ia tidak mati dan ternyata masih hidup. Karena aku yang menolongnya, maka ia adalah milikku.

” Devadatta tetap menuntutnya dan Pangeran tetap pada pendiriannya dan tidak mau menyerahkannya.

Akhirnya atas usul Pangeran, mereka berdua pergi ke Dewan Para Bijaksana dan mohon agar Dewan memberikan keputusan yang adil dalam persoalan tersebut.

Setelah mendengarkan keterangan-keterangan dan penjelasan-penjelasan dari kedua belah pihak, Dewan lalu memberikan keputusan sebagai berikut :
” Hidup itu adalah milik dari orang yang mencoba menyelamatkannya. Hidup tidak mungkin menjadi milik dari orang yang mencoba menghancurkannya. Karena itu menurut norma-norma keadilan yang berlaku, maka secara sah, belibis harus menjadi milik dari orang yang ingin menyelamatkan jiwanya yaitu Pangeran Siddhatta.”

Masa Remaja

Sewaktu Pangeran meningkat usianya menjadi 16 tahun, Raja memerintahkan untuk membuat tiga buah istana yang besar dan indah, satu istana untuk musim dingin (Ramma), satu istana untuk musim panas (Suramma) dan satu istana untuk musim hujan (Subha).

Kemudian Raja mengirim undangan kepada para orang tua yang mempunyai anak gadis untuk mengirimkan anak gadisnya ke pesta, dimana Pangeran akan memilih seorang gadis untuk dijadikan istrinya. Namun para orang tua tersebut ternyata tidak mengacuhkannya. Mereka mengatakan bahwa Pangeran tidak paham kesenian dan ilmu peperangan, maka bagaimana ia kelak dapat memelihara dan melindungi istrinya.
Ketika hal ini diberitahukan kepada Pangeran, maka Pangeran mohon kepada Raja agar segera mengadakan satu sayembara, dimana berbagai ilmu peperangan dipertandingkan.

Dalam sayembara itu, Pangeran bertanding melawan pangeran-pangeran lain yang datang dari segenap penjuru negara Sakya, bahkan juga pangeran-pangeran dari negara lain.
Semua pertandingan seperti naik kuda, menjinakkan kuda liar, menggunakan pedang, dan memanah ternyata dimenangkan oleh Pangeran.


Khusus dalam hal memanah, Pangeran tidak ada tandingannya. Untuk membentangkan busur yang dipakai oleh Pangeran saja mereka tidak mampu karena busur itu besar dan berat, sehingga untuk membawanya ke tempat pertandingan harus digotong oleh empat orang.

Dengan mendapat sambutan yang meriah sekali dari para hadirin, Pangeran dinyatakan sebagai pemenang mutlak dari sayembara tersebut.

Dalam sebuah pesta besar yang kemudian diselenggarakan dan dihadiri oleh tidak kurang dari empat puluh ribu orang gadis cantik, pilihan Pangeran jatuh kepada seorang gadis bernama Yasodhara yang ada ikatan keluarga dengan Pangeran karena ia adalah anak pamannya yang bernama Raja Suppabuddha dari negara Devadaha dan bibinya, Ratu Amita (adik Raja Suddhodana).
Setelah Pangeran Siddhatta menikah dengan Putri Yasodhara, maka kekhawatiran Raja Suddhodana agak berkurang sebab Raja selalu ingat dengan ramalan dari pertapa Asita bahwa Pangeran kelak akan menjadi Buddha.
Dengan pernikahan ini, Raja berharap Pangeran akan lebih diikat kepada hal-hal duniawi. Sekarang tinggal menjaga supaya Pangeran jangan melihat empat peristiwa tentang kehidupan, yaitu orang tua, orang sakit, orang mati, dan pertapa suci.
Karena itu Raja memerintahkan pengawal-pengawalnya agar Pangeran dijaga jangan sampai melihat empat hal tersebut. Apabila ada dayangnya yang sakit maka dayang itu akan segera disingkirkan. Semua dayang dan pengawalnya adalah orang-orang muda belia. Selanjutnya Raja memerintahkan untuk membuat tembok tinggi mengelilingi istana dan kebun dengan pintu-pintu yang kokoh kuat, dan dijaga siang dan malam oleh orang-orang kepercayaan Raja.

Dengan demikian Pangeran Siddhatta dan Putri Yasodhara memadu cinta di tiga istananya yang mewah sekali dan selalu dikelilingi oleh penari-penari dan dayang-dayang yang cantik-cantik
Raja merasa puas dengan apa yang telah dikerjakannya dan berharap bahwa Pangeran kelak dapat menggantikannya sebagai Raja negara Sakya.

Melihat Empat Peristiwa

Pangeran tidak bahagia dengan cara hidup yang dianggap seperti orang tawanan dan terpisah sama sekali dari dunia luar.
Pada suatu hari Pangeran mengunjungi ayahnya dan berkata,
“Ayah, perkenankanlah aku berjalan-jalan ke luar istana untuk melihat tata cara kehidupan penduduk yang kelak akan kuperintah.”

Karena permohonan ini wajar, maka Raja memberikan izin.

“Baik, anakku, engkau boleh keluar dari istana untuk melihat bagaimana penduduk hidup di kota. Tetapi sebelumnya aku harus membuat persiapan sehingga segala sesuatunya baik dan patut untuk menerima kedatangan anakku yang baik.”

Setelah rakyat selesai menghias kota seperti diperintahkan oleh Raja, maka Raja memanggil Pangeran untuk menghadap. “Anakku, sekarang engkau boleh pergi melihat-lihat kota sepuas hatimu.”

Sewaktu Pangeran sedang berjalan-jalan di kota, dengan tiba-tiba seorang tua keluar dari sebuah gubuk kecil. Rambut orang itu panjang dan sudah putih semua, kulit mukanya kering dan keriput, matanya sudah hampir buta, pakaiannya compang-camping dan kotor sekali. Giginya sudah ompong, badannya kurus kering dan dengan susah payah serta terbungkuk-bungkuk ditopang oleh sebuah tongkat berjalan tanpa menghiraukan orang-orang di sekelilingnya yang sedang bergembira. Dengan suara lemah dan perlahan sekali ia meminta-minta makanan dan mengatakan kalau tidak diberi makanan, ia pasti akan mati hari itu juga karena ia lapar sekali dan sudah beberapa hari tidak makan.
Melihat orang tua itu, Pangeran terkesan sekali karena hal seperti ini baru pertama kali dilihatnya.
“Apakah itu, Channa? Itu tidak mungkin seorang manusia. Mengapa ia bungkuk sekali? Mengapa ia gemetar sewaktu berjalan? Mengapa rambutnya putih dan bukan hitam seperti rambutku? Apa yang salah dengan matanya? Dan giginya dikemanakan? Apakah ada orang yang terlahir seperti itu? Coba katakan, oh Channa yang baik. Apakah artinya semua ini?”

Channa menerangkan kepada Pangeran bahwa semua itulah keadaan seorang tua, tetapi bukan keadaannya sewaktu dilahirkan. “Sewaktu masih muda, orang itu seperti kita dan karena sekarang ia sudah tua sekali maka keadaannya telah berubah seperti yang Tuanku lihat. Sebaiknya Tuanku lupakan saja orang tua tersebut. Setiap orang kalau sudah terlalu lama hidup di dunia akan menjadi seperti orang itu. Hal itu tidak dapat dielakkan.”
Tetapi Pangeran tidak puas dengan jawaban Channa.

Pangeran memerintahkan untuk segera kembali ke istana karena pemandangan orang tua yang baru saja ia lihat telah membuatnya sedih sekali, dan ia ingin merenungkan persoalan ini dengan lebih mendalam. Mengapa sebagai seorang Pangeran dan juga orang-orang lain pada suatu hari harus menjadi tua, lemah dan sedih, dan tidak ada seorangpun yang dapat mencegahnya, meskipun ia kaya, terpandang atau berkuasa?

Malam itu diselenggarakan sebuah pesta besar untuk menghibur Pangeran. Tetapi Pangeran acuh tak acuh saja, dan tidak kelihatan gembira sewaktu berlangsungnya pesta makan dan tari-tarian. Ia sedang sibuk merenung dan dalam hati berkata kepada mereka yang hadir, “Pada suatu hari engkau semua akan menjadi tua, tanpa ada yang terkecuali dan begitu pula engkau yang tercantik.”

Setelah pesta usai dan Pangeran masuk ke kamar tidur, pikiran itu masih tetap saja mengganggunya. Di tempat tidur, ia masih merenung bahwa suatu hari semua orang akan menjadi tua, rambutnya putih, kulitnya keriput, ompong dan buruk seperti tukang minta-minta yang baru saja ia lihat. Ia ingin tahu apakah ada orang yang telah menemukan cara untuk menghentikan hal yang menyeramkan itu, yaitu usia tua.

Setelah persoalan ini dilaporkan kepada Raja, maka Raja menjadi sedih sekali dan ia merasa khawatir bahwa hal ini dapat menyebabkan Pangeran meninggalkan istana. Karena itu, Raja memerintahkan kepada dayang-dayangnya untuk lebih sering mengadakan pesta-pesta makan dan tari-tarian.

Berselang beberapa hari, Pangeran kembali memohon kepada Raja agar diperkenankan lagi melihat-lihat kota Kapilavatthu, tetapi sekarang tanpa terlebih dahulu memberitahukannya kepada para penduduk.
Dengan berat hati Raja memberikan izinnya, karena Beliau tahu, tidak ada gunanya melarang sebab hal itu tentu akan membuat Pangeran sangat sedih.
Pada kesempatan ini, Pangeran pergi bersama-sama Channa dan berpakaian seperti anak keluarga bangsawan karena ia tidak ingin dikenal sewaktu sedang berjalan-jalan.
Hari itu pemandangan kota berlainan sekali. Tidak ada penduduk berkumpul untuk mengelu-elukannya, tidak ada bendera-bendera, tunggul-tunggul, bunga-bunga, dan penduduk yang berpakaian rapi. Tetapi hari itu Pangeran melihat penduduk yang sedang sibuk bekerja.

Seorang pandai besi dengan badan penuh keringat sedang membuat pisau. Seorang pandai emas sedang membuat kalung, gelang, kerabu, dan cincin dari intan, emas, dan perak.
Seorang tukang celup pakaian sedang mencelup pakaian dalam beraneka ragam warna yang bagus-bagus dan kemudian menjemurnya. Tukang kue sedang sibuk memanggang roti dan kue, lalu menjualnya kepada langganannya yang kemudian memakannya selagi masih panas.

Pangeran memperhatikan orang-orang kecil ini yang sederhana dan semua orang kelihatan sibuk sekali, bahagia dan senang dengan pekerjaannya. Tetapi Pangeran juga melihat seorang yang sedang merintih-rintih dan bergulingan di tanah dengan kedua tangannya memegangi perutnya. Di muka dan badannya terdapat bercak-bercak berwarna ungu, matanya berputar-putar dan nafasnya megap-megap.
Untuk kedua kalinya dalam hidupnya, Pangeran melihat sesuatu yang membuat Beliau sangat sedih.

Pangeran yang dikenal sebagai orang yang penuh kasih sayang, dengan cepat menghampiri orang itu, mengangkatnya, meletakkan kepalanya di pangkuannya dan dengan suara menghibur menanyakan, “Mengapakah engkau, engaku mengapakah?” Orang sakit itu sudah tidak dapat menjawab. Ia menangis tersedu-sedu.
“Channa, katakanlah, mengapakah orang ini? Apakah yang salah dengan nafasnya? Mengapa ia tidak bicara?”
“Oh, Tuanku, jangan sentuh orang itu lama-lama. Orang itu sakit dan darahnya beracun. Ia diserang demam pes dan seluruh badannya terasa terbakar. Oleh karena itulah ia merintih-rintih dan tidak lagi dapat bicara.”
“Tetapi adakah lagi orang lain seperti dia?”
“Ada, dan Tuanku mungkin orangnya kalau Tuanku memegangnya seperti itu. Mohon dengan sangat agar Tuanku meletakkannya kembali di tanah dan jangan menyentuhnya lagi sebab pes itu sangat menular. Nanti Tuanku juga akan sakit.”
“Channa, masih banyakkah hal-hal buruk seperti ini selain sakit pes?”
“Memang,Tuanku, ada ratusan penyakit yang sama hebatnya seperti sakit pes.”
“Apakah tidak ada orang yang dapat menolongnya? Apakah semua orang dapat diserang penyakit? Apakah penyakit datang secara mendadak?”
“Betul, Tuanku, semua orang dalam dunia dapat terserang penyakit. Tidak ada orang yang dapat mencegahnya, dan itu dapat terjadi setiap saat.”
Mendengar ini, Pangeran menjadi semakin sedih dan kembali ke istana untuk merenungkan hal ini.

Raja merasa sedih karena melihat Pangeran pada waktu akhir-akhir ini seperti kurang gembira sehubungan dengan kejadian-kejadian yang telah dilihatnya.
Berselang beberapa hari, Pangeran kembali mohon kepada Raja agar diperkenankan kembali melihat-lihat kota Kapilavatthu.
Raja menyetujuinya karena beranggapan tidak ada gunanya lagi sekarang untuk melarang.
Pada kesempatan ini Pangeran yang berpakaian sebagai anak seorang bangsawan dengan diiringi Channa, berjalan-jalan di kota Kapilavatthu. Tidak lama kemudian mereka berpapasan dengan serombongan orang yang sedang menangis mengikuti sebuah usungan dipikul oleh empat orang.
Di atas usungan itu berbaring seorang yang sudah kurus sekali dalam keadaan tidak bergerak. Kemudian rombongan membawa usungan itu ke tepi sebuah sungai dan meletakkannya di atas tumpukan kayu yang kemudian dinyalakan api.
Orang tersebut tetap diam saja dan tidak bergerak meskipun api telah membakarnya dari semua sudut.
“Channa, apakah itu? Mengapa orang itu berbaring di sana dan membiarkan orang lain membakar dirinya?”

“Dia tidak tahu apa-apa lagi, Tuanku. Orang itu sudah mati.”
“Mati! Channa, apakah ini yang dinamakan mati? Dan apakah semua orang pada suatu waktu akan mati?”
“Betul, Tuanku, semua makhluk hidup pada suatu waktu harus mati. Tidak ada seorangpun yang dapat mencegahnya.”
Pangeran heran dan kaget sekali, sehinggan tidak dapat mengucapkan sepatah kata pun. Pangeran berpikir bahwa sangat mengerikan keadaan yang disebut ‘mati’ itu yang harus dialami oleh setiap orang, meskipun ia seorang Raja atau anak dari seorang Raja. Apakah benar tidak ada jalan untuk menghentikannya? Pangeran pulang, dan di kamarnya ia merenungkan persoalan ini sepanjang hari.

“Semua orang di dunia ini pada suatu waktu harus mati, belum ada orang yang tahu bagaimana cara untuk menghentikannya. Aku harus mencarinya dan menolong dunia ini.”
Sewaktu Pangeran mengunjungi Kapilavatthu untuk keempat kalinya, di sebuah taman, Pangeran berhenti dan duduk beristirahat di bawah pohon jambu. Tiba-tiba Pangeran melihat seorang pertapa berjubah kuning dengan membawa mangkuk di tangan menghampirinya.
Pangeran memberi salam kepada pertapa tersebut dan menanyakan kegunaan mangkuk yang sedang dipegangnya.
Pertapa itu menjawab, “Pangeran yang mulia, aku ini seorang pertapa.

Aku menjauhkan diri dari keduniawian, meninggalkan sanak keluarga untuk mencari obat agar orang tidak menjadi tua, sakit, dan mati. Mangkuk ini aku bawa untuk mengharapkan makanan dari mereka yang berbelas kasih. Selain dari itu, aku tidak menginginkan hal-hal dan barang-barang duniawi.”
Pangeran terkejut karena ternyata pertapa ini mempunyai pikiran dan cita-cita yang sama dengan dirinya.
“Oh, Pertapa suci, di manakah obat itu harus dicari?”
“Pangeran yang mulia, aku mencarinya dalam ketenangan dan kesunyian hutan-hutan yang lebat, jauh dari gangguan dan keramaian dunia. Sekarang maafkan, aku harus meneruskan perjalanan. Penerangan dan kebahagiaan sedang menunggu.”
Kemudian pertapa itu berlalu dan terus menghilang.

Konon diceritakan bahwa pertapa itu adalah seorang dewa yang ingin membantu Pangeran Siddhatta.

Pangeran merasa gembira sekali dan berkata di dalam hati, “Aku juga harus menjadi pertapa seperti itu!”

Tidak lama kemudian, datanglah dayang-dayang yang khusus mencari Pangeran untuk memberitahukan bahwa Putri Yasodhara telah melahirkan bayi laki-laki yang sehat. Mendengar berita ini, Pangeran bukannya bergembira tetapi mukanya justru menjadi pucat. Pangeran mengangkat kepalanya menghadap langit yang tinggi dan kemudian berkata,

“Rahulajato, bandhanam jatam.”

Yang berarti :

“Satu jerat telah terlahir, satu ikatan telah terlahir.”

Karena ucapan ini maka bayi yang baru lahir kemudian diberi nama “Rahula”.

Dalam perjalanan pulang ke istana, Pangeran bertemu dengan Kisa Gotami yang karena kagumnya mengucapkan kata-kata sebagai berikut :

“Nibbuta nuna sa mata,
Nibbuta nuna so pita,
Nibbuta nuna sa nari,
Yassa yam idiso pati.”

Yang berarti :

“Tenanglah ibunya,
Tenanglah ayahnya,
Tenanglah istrinya,
Yang mempunyai suami seperti Anda.”

Pangeran terkejut dan tergetar hatinya mendengar perkataan “Nibbuta” yang berarti: “tenang, padam semua nafsu-nafsu”, sehingga Beliau menghadiahkan Kisa Gotami sebuah kalung emas yang sedang dipakainya.

Bersambung》

Tidak ada komentar:

Posting Komentar